Minggu, 24 April 2011

Mengindra

Saya berinisiatif untuk memberi tema untuk membangun teknik deskripsi dengan menggunakan alat indra* yang ada di manusia selain mata. Kenapa selain mata? Karena banyak literatur yang berisi deskripsi dengan apa yang dilihat mata: indahnya seseorang, buruknya pemandangan, hasil observasi ruang, dan lainnya. Orang banyak melihat, ada juga yang mendengar, beberapa mencium, sedikit meraba, lalu mengecap pada tema tertentu saja.

Dari empat sisa indra yang ada di manusia, untuk mempertajam tulisan, saya meminta peserta untuk menulis satu atau dua indra saja. Saya memberi contoh buku Perfume: The Story of Murderer. Penulisnya menggunakan hidung sebagai indra utama dalam cerita dan menghabiskan ruang yang banyak untuk menguatkan ketajaman pengindraan tokoh sehingga tokoh bisa mencium wewangian secara detail dan mendalam.

Sapta dan Aga menuliskan cerita dengan persepsi berbeda dari tema yaitu alat indra sebagai sebuah issue, bukan sebagai media mendeskripsikan lingkungan. Sapta membicarakan konstruksi sosial bahwa cantik itu putih sehingga mengakibatkan kulit yang sakit dan hilangnya sebuah nyawa karenanya dan Aga menceritakan kehilangan kemampuan melihat berdampak pada keadaan psikologis melihat seorang model Rusia yang menghabiskan waktunya untuk mengeluh dan menjauh dari lingkungan sosialnya. Sapta dan Aga mengakui bahwa mereka kesulitan dalam menulis tema ini.

Bergradasi dari situ, Aji menulis tentang untungnya tokoh memiliki kekurangan dalam mendengar (budeg) akibat earphone karena bisa meningkatkan kepercayaan diri seseorang akibat tidak mendengar apa yang dikatakan orang lain. Menurut saya, penceritaan Aji lebih ditekankan pada orang di sekitar tokoh yang tentunya tidak budeg. Sensasi sudah ada (terutama saat tokoh mencium bau tidak sedap akibat ayah tidak mencuci bekas tinjanya dengan benar) tapi masih kurang karena tidak ditekankan pada tokoh utama. Sapta memberikan ide bagaimana jika ibunya yang terbangun di suatu pagi lalu berkata, "Nah, hening gini dong!" padahal ayah dan anak berbicara sepanjang hari.

Sesuatu bertaring dan bercakar yang sedang merayap di dalam terowongan ditulis oleh Dani. Sesuatu itu mengamati setiap sandungan langkah, debaman, dentuman, dari manusia-manusia yang ada di depannya. Cerita diakhiri oleh bau anyir darah yang menetes pada taringnya. Saya bertanya pada Dani apakah ia menulis tentang binatang, Dani pun tidak tahu pasti apa yang ia tulis. Menurut saya, binatang-binatang yang menggunakan suhu tubuh, suara, indra penciuman, bisa dijadikan contoh untuk kita menulis deskriptif tentang contoh-contoh sensasi lain selain mata.

Saya menuliskan orang tuna rungu yang berkomunikasi dengan dunia luar dengan menggunakan indra pendengaran dan peraba. Namun tulisan saya menghasilkan perdebatan panjang antara saya dan Sapta bahwa walaupun yang saya tulis tentang sensasi-sensasi diterima kulit, namun tidak membuat ia turut merasakan bahwa tokoh berkomunikasi lewat kulit dan informasi tetap berdasarkan pengelihatan (visualisasi)--indra yang seharusnya tidak digunakan dalam tema ini. Saya tidak setuju karena menurut saya tokoh tetap mengindra bukan dari mata dan menggunakan pengetahuan bahwa telinga yang tokoh raba itu adalah telinga bukanlah visualisasi, melainkan penggunaan dari pengetahuan yang sudah ia terima. Contoh Perfume sudah jelas, namun ini sepertinya ketidakpuasan pada hasil pengeksekusian tulisan saya saja.

Sementara itu tema vampire dibawa oleh Farida yang juga menyisakan perdebatan panjang hingga akhir acara dimana Farida menuliskan "manis seperti strawberry di lidah" padahal strawberry itu asam adanya. Agaknya Farida diberi pesan oleh Hakmer dan Dani untuk menggunakan analogi umum--yang seperti Sapta bilang-- seperti gula cair. Saya jadi ingat RLWC pernah membuat tema menganalogi hal-hal yang tidak umum misalnya jika kau jatuh cinta, jangan kau katakan bahwa hatimu berbunga-bunga karena pasaran adanya. Bagaimanapun, analogi tetap harus ada relevansinya.

Indra adalah media alami yang membantu kita dalam menulis. Dalam membuat karakter tokoh atau membuat tulisan itu sendiri. Saya setuju dengan ruang besar yang disediakan Perfume untuk mendetailkan sensasi-sensasi yang dirasa alat indra sehingga terasa betul oleh pembaca, namun hati-hati terjebak pada deskripsi yang terlalu banyak sehingga plot terasa lama dan deskripsi yang terlalu banyak diulang sehingga cerita terasa membosankan. Untuk awal belajar, kita bisa menggunakan beberapa indera saja dalam tulisan agar bisa fokus. Namun jika sudah jago adanya, maka kita bisa menggabungkan kelimanya.

*indra, diambil dari Kamus Besar Bahasa Indonesia



Nia Janiar

Jumat, 15 April 2011

Memeluk dan Memukul Teknologi

Jurnal RL Writers Circle: 31 Maret 2011

Jaman sekarang dimana-mana ada teknologi. Bahkan, sulit bagi kita untuk lari dari teknologi (kecuali bila Anda tinggal bersama suku Baduy :)).

Teman butuh kita, mereka telepon. Butuh gaul, ada Blackberry ama Twitteran. Saat kita tidak punya gadget gaul, teman akan bilang, “Ayo dong beli!”

Pada awal abad ke 17, muncul kata teknologi, berasal dari bahasa Yunani, yaitu technología. Téchnē adalah seni, keahlian, keterampilan. Kata logia berarti ilmu.

Secara umum, teknologi dikenal sebagai penggunaan pengetahuan akan alat, teknik, keahlian, sistem, atau metode pengorganisasian guna menyelesaikan suatu masalah atau mencapai suatu tujuan.


Dengan info mendasar tersebut, kami, sekumpulan anak muda yang terdampar di kafe Reading Lights, mencoba bercerita tentang teknologi. Kami percaya Dani paling tahu mengenai teknologi maka ialah yang pertama membacakan ceritanya.

“Sepasang kekasih chatting melalui game online. Mereka sadar, kegemaran mereka pada game online membuat mereka jarang bertemu. Maka, kencan pun direncanakan. Namun pada, akhirnya sepasang kekasih ini urung bertemu. Lagi-lagi karena game online.”

Kemudian ada Aga. Saya tidak terlalu mengenalnya tapi saya ingat waktu itu ia pernah ikut di RL Writers Circle. Sama seperti dahulu, ia membacakan cerita berbahasa Inggris, dengan nada suara yang mengguggah pendengar; “Seorang wanita menatap dirinya di cermin. Pipi, bibir, semuanya sudah tak seindah dulu lagi. Keriput wajah menjadi momoknya. Ia ingin seperti dulu lagi, dipuja-puji akan parasnya. Ia membulatkan tekad, sebuah langkah besar dibuat. Ia menelpon dokter bedah plastik, tapi ...”

Saya rasa, gaya penuturan Aga sangat terpengaruh oleh tayangan E! Channel dan Sex and the City. Detail ceritanya kuat dan ada kesan centil.

Ketiga, ada Nia yang membacakan ceritanya; “Ajisaka tengah dalam pelarian. Cakrabirawa berhasil mengepungnya dalam sebuah gudang. Tidak ada jalan keluar. Untungnya, Ajisaka punya akal mulus. Berbekal pengetahuannya, listrik diubahnya menjadi senjata mahadaya”
Saat itu, Nia menulis cerita yang pendek namun kuat unsur science-nya. Sebab, sang tokoh utama menang dengan cara McGyver.

Sapta membawa kami ke masa depan:
“Dua remaja tengah bermain dengan berbagai gadget yang canggih. Namun, sebuah benda dari masa lalu membuat mereka terpesona. Sebuah bola kaca digoyahkan, maka salju-salju didalamnya turun perlahan dengan anggunnya. Mereka tak pernah melihat salju.”

Farida datang di tengah sesi menulis. Awalnya, ia tak mau menulis. Pada akhirnya, Farida berhasil membuat tiga paragraf singkat mengenai pacar virtual.

Saya menulis mengenai sepasang kekasih yang dikalahkan kota.
“Pak Sarapan dan Bu Camilan datang ke kota berbekal gula aren dari desanya. Dengan ketekunan, mereka kaya raya. Namun, televisi, penyanyi dangdut seksi, dan bedah plastik menghancurkan ikatan cinta mereka.”

Agee menulis sebuah pandangan analitis mengenai lansekap; “Lansekap adalah bagaimana kita menata ruang, menyesuaikan kontur dan keadaan tanah sesuai peruntukkannya. Lahan pun dapat menjadi kuas seni. Di Jepang, varietas padi yang berwarna warni dimanfaatkan untuk membuat gambar raksasa di pematang sawah.”

Sesi menulis kali ini ditutup oleh kisah Aji mengenai penciptaan tiga benda yang dapat mengabadikan berbagai imajinasi dan pemikiran, yaitu tinta, bulpen, kertas.

Sampai di akhir sesi menulis, kami berdiskusi mengenai teknologi. Ternyata, cukup sulit juga membuat satu kesimpulan karena teknologi menciptakan banyak kemungkinan.



Yuliasri Perdani. Peserta yang jarang datang karena kini ia sering berada di ibukota sebagai reporter.