Jumat, 14 Mei 2010

Movie Week: Mukhsin

Saya adalah orang ketiga yang datang hari itu ke Reading Lights dan Uli adalah orang kesekian yang datang. Justru Uli adalah pemegang peranan dalam pertemuan kami saat itu karena hari ini kami (Andika, Hakmer, Farida, Sapta, Rizal, Dani, dan Uli) tidak akan menulis, kami akan menonton.

DVD yang Uli pegang saat itu adalah Mukshin, sebuah karya dari Yasmin Ahmad. Saya bertanya-tanya apa yang menyebabkan film ini layak dipertontonkan. Yasmin Ahmad adalah seorang sutradara, penulis dan penulis naskah dari Malaysia. Unsur humor & cinta adalah ciri khasnya. Lebih khas lagi karena cinta yang terbentuk adalah cinta yang melintasi ras dan budaya. Karya-karyanya banyak mendapat penghargaan baik dari negaranya bahkan internasional. Mukhsin adalah salah satu karyanya yang merupakan trilogi dari Sepet (2004) & Gubra (2006).

Mukhsin adalah seorang anak lelaki yang suka kepada Orked. Orked adalah seorang anak perempuan yang dibesarkan oleh keluarga sederhana yang modern. Bahasa Inggris adalah bahasa keseharian antara Orked dan ibunya, padahal Orked bersekolah di sekolahan Cina dengan bahasa Mandarin. Sementara dalam keseharian bersama temannya, Orked berbicara dengan bahasa Melayu, termasuk dengan Mukhsin.

Umur mereka yang belia, Mukhsin (12) dan Orked (10), tidak menghalangi mereka berbicara dengan bahasa cinta. Yasmin Ahmad tidak menyuguhkan percintaan anak dibawah umur secara vulgar, mereka tetap anak-anak dengan kepolosannya. Banyak simbol yang dipakai dalam film ini. Sekali lagi ciri khas dari Yasmin Ahmad muncul: cinta yang melintasi ras dan budaya. Orked yang berasal dari keluarga yang harmonis berbanding terbalik dengan Mukshin yang dalam usia belianya harus memahami arti hidup lebih cepat dibandingkan anak lainnya. Kisah Mukhsin dan Orked harus berakhir saat kepindahan Mukhsin dari kampungnya. Ibu Mukhsin yang memutuskan untuk bunuh diri menyebabkan Mukhsin harus ikut bapaknya pindah. Rasa cemburu menyebabkan perpisahan antara Mukhsin dan Orked tidaklah semudah pertemuannya. Lagu Nina Simone mengiringi berakhirnya film ini. Ne me quitte pas, Ne me quitte pas, Ne me quitte pas … (Jangan tinggalkan aku)

Lampu menyala, saya protes karena bau asap dari ikan tuna memenuhi (setting-an seperti) bioskop Reading Lights. Akhirnya kami memutuskan pindah ruangan. Di ruangan lain, kekaguman Uli terhadap Yasmin Ahmad belum berhenti. Iklan hari kemerdekaan Malaysia yang disutradarai oleh Yasmin Ahmad dipertontonkan dari laptopnya Uli. Kami terkagum-kagum. Saat itu, saya tiba-tiba ingin membuat pengakuan bahwa seumur hidup saya belum pernah main layang-layang (tercetus karena dalam film ada adegan bermain layang-layang).


Romantisme Mukhsin dan Orked membuat kami bercerita soal cinta monyet. Farida sukses dengan cinta monyetnya. Kebalikannya saya dan Andika yang tidak sukses dengan cinta monyetnya. Rizal, Hakmer, dan Dani sempat bercerita juga tentang kisah cintanya.

Dalam film Mukshin ada sebuah simbol yang dipercayai bahwa cinta lama jangan dicari, biarkanlah menjadi kenangan indah. Simbol itu dilambangkan oleh baju yang digantungkan di atas pohon. Uli membenarkan simbol itu. Menurut pengakuannya di masa SD, cinta monyetnya adalah anak tertampan yang dia kenal. Saat secara tak sengaja menemukan kembali wajah cinta monyetnya di Facebook (meski hanya berupa foto) ternyata anak ini berubah menjadi seorang lelaki yang tidak menarik lagi. Itulah sebabnya Uli membenarkan bahwa biarlah cinta lama tetap menjadi kenangan yang indah, jangan dicari karena mungkin akan merusak kenangan!

Ironisnya, pada malam Minggu kami berbicara soal cinta, tapi saat itu hanya Uli yang dijemput sang pacar, sisanya dari kami hanya meneruskan ngobrol kesana kemari.





Sapta P Soemowidjoko. Bergelar sarjana science yang pada akhirnya terjun ke dunia seni. Hobinya menulis, menggambar, dan memotret yang pada akhirnya digeluti secara profesional. Semasa kuliah pernah menjadi penyiar dan produser di beberapa radio dengan genre anak muda. Terakhir, ia pernah terpilih menjadi art director LA Indie Movie dalam film Dummy Bukan Dami sekaligus menjadi pemeran utamanya. Visual merchandise and promotion untuk Corniche adalah pekerjaan tetap yang tertulis dalam kartu namanya.

Senin, 10 Mei 2010

Show, Don't Tell!

Sabtu siang itu matahari bersinar dengan terik. Langit bersih nyaris tanpa awan. Ketika sampai di Reading Lights Bookshop and Coffee Corner, saya bertemu dengan Hakmer yang sedang keranjingan mengunduh lagu. Kali ini yang menjadi sasaran laki-laki kurus itu adalah Jimi Hendrix yang juga kurus. Terlena dengan keempukan sofa yang diduduki, saya mulai dijangkiti rasa kantuk. Saat itulah Anggi datang, membuat mata melek dengan optimisme dan keceriaannya; diikuti Asti dengan pembicaraan soal akuntansi, serta tak ketinggalan Lukman, seorang peserta baru. Pukul setengah lima kurang writer’s circle pindah ke lantai atas. Tiba berturut-turut Uli, Dani, dan Niken, lingkaran pun semakin besar.

Pada kesempatan kali ini latihan menulisnya cukup menantang: setiap peserta diminta untuk menuliskan sebuah cerita. “Lho, bukannya biasanya juga begitu?” tanya saya kepada diri sendiri. Memang, tetapi dalam cerita ini setiap peserta harus mampu mendeskripsikan tiga kata sifat pada seorang karakter tanpa menuliskannya secara tersurat. Sebelum menulis, masing-masing mesti memilih tiga kata sifat yang paling mewakili tokoh ceritanya, contoh: wangi, penyendiri, dan bobrok. Setelah tulisan dibacakan, peserta yang lain akan menebak kira-kira kata sifat apa yang dimaksudkan. Supaya lebih seru, dalam latihan ini para penulis juga tidak diperkenankan memilih kata sifat yang maknanya terlalu dekat—misalnya cantik, anggun, dan menawan. Walhasil dimensi karakter menjadi bertambah luas.

Niken dan tulisannya resmi membuka sesi pembacaan karya. “Apa? Pengen tahu tentang saya? Beneran, nih?” begitu cara Niken mengawali tulisannya. Dengan penuturan yang khas percakapan sehari-hari, ia lalu menceritakan tokoh ‘saya’ yang tak tergantung dengan siapa-siapa. Bagaimana terkadang ‘saya’ menjadi tempat curhat orang-orang di sekitarnya. “Perkara apakah orang-orang itu mengikuti saran saya, itu urusan mereka,” tulis Niken. Setelah menceritakan impian ‘saya’ menyelam di Bunaken, tulisan ini diakhiri dengan, “Ih, udah dulu ya, udah pada bosen, kan?” Peserta lain pun menebak-nebak dengan semangat, “Pemimpi? Mandiri? Independen? Banyak mau?” Niken mengiyakan. Namun ada satu kata sifat yang nyaris tidak terjawab. Kata apakah itu? Rupanya kurang percaya diri. Kata sifat itu tersirat di pembukaan dan penutupan tulisan yang singkat-tapi-kena ini.

Harus dikatakan, sekarang Uli semakin mantap menulis tentang realitas-realitas sosial yang ada. Kali ini ia bercerita tentang Anton, seorang mandor yang tegas dengan bawahan-bawahannya. Para buruh perempuan akan kehilangan konsentrasinya apabila laki-laki beristri ini lewat di depan mereka. Walaupun demikian, jauh di lubuk hatinya Anton merasa apa yang dimilikinya bukanlah apa yang diinginkannya; bahwa apa yang yang dijalaninya tidak akan membawanya kepada apa yang diimpikannya. Selain berkharisma, kata sifat yang ditekankan Uli adalah tertekan oleh nasib.

Di penampilan perdananya, Lukman mengaku terinspirasi Luna Maya dalam tulisannya kali ini. Pemuda ini menulis tentang seorang perempuan berkulit putih, tinggi, berambut panjang. Meskipun deskripsi fisik semacam itu teorinya cocok memakai baju apa saja, perempuan tersebut mengenakan pakaian yang warna-warnanya saling bertabrakan. Tokoh rekaan Lukman ini diceritakan bertemu dengan penjual rambutan. Konflik muncul ketika ia ingin membeli rambutan per biji, tepatnya 100 biji, bukan per kilo. Tentu saja si penjual harus mencari akal supaya pelanggannya tetap puas. Lukman membaca dengan nada keheranan yang cocok dengan ceritanya. Kata sifat yang dimaksudkannya adalah aneh, lebay, dan—yang justru gagal ditebak—cantik. Rupanya sebagian besar peserta writer’s circle tidak berpikiran kalau kulit putih, postur tinggi, dan rambut panjang selalu identik dengan kecantikan.

Dani menceritakan duel seru tentang bagaimana karakter andalannya, Yan, berusaha menangkap musuh bebuyutannya, George. Masing-masing berupaya melucuti yang lain dengan berbagai teknik yang justru membuat kagum yang lain. Kisah ini ditutup dengan George yang berhasil kabur karena Yan harus menyelamatkan orang dari ledakan yang bisa terjadi di lantai 6. Seperti biasa tulisan Dani tak hanya berkesan tangguh, tetapi juga jenaka. Yan adalah tokoh yang cukup sering muncul di karya Dani sehingga peserta lain merasa familiar dengannya. Selesai pembacaan, muncul berbagai tebakan tentang kata sifat yang ditekankan Dani. Anggi lantas terkagum karena berbagai tebakan itu jelaslah muncul karena keberhasilan Dani menciptakan karakter-karakter yang kompleks. Sang ratu teka-teki, Niken, sukses menerka sebuah kata sifat yang cocok dengan karakter George, yaitu iseng.

Di luar kebiasaannya menyampaikan cerita yang manis, romantis, dan berbunga-bunga; Anggi hadir dengan tulisan bertema gelap: perselingkuhan. Dengan penggambaran yang detail, Anggi mengisahkan bagaimana karakternya mengunjungi rumah selingkuhannya pada suatu petang. Saking detailnya, awal tulisan ini menjadi begitu mencekam sampai-sampai saya menyangka cerita ini bergenre horor! Dan akhirnya memang horor, meski tidak dalam arti yang konvensional. Si tokoh perempuan tersiksa dalam himpitan gairah dan rasa tanggung jawab untuk bisa tetap bersama anak-anaknya. Kata sifat yang ditekankan Anggi adalah martir, cari aman, dan lemah terhadap hasrat.

Sebelum membaca, Hakmer menyatakan kalau tulisannya akhirnya berbeda dengan apa yang telah dibaca oleh peserta-peserta sebelumnya. Hakmer menulis sebuah esei yang berusaha menjelaskan perilaku perempuan dengan analogi kucing dan anjing; bagaimana perempuan justru melakukan hal yang kontradiktif dari apa yang dirasakannya. Hakmer mengakui kalau ia terlalu memaksakan untuk menuangkan ide yang ada dalam kepalanya ke latihan menulis dengan instruksi seperti di atas. Pada dasarnya ia ingin menjelaskan perempuan ke dalam beberapa kata sifat, yaitu: cantik, kacau, tetapi terpola.

Asti menulis cerita tentang seorang perempuan bermasa lalu kelam yang sulit untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Karakter ini sangat mudah marah dan menjadi duri dalam daging bagi orang-orang di sekitarnya. Hanya satu orang yang boleh masuk ke hatinya: adiknya. Lama-kelamaan, tersingkaplah sifat tersembunyi karakter ini yang rupanya senang membayangkan bunyi gergaji mesin beradu dengan tulang manusia. Berbeda dengan cerita Anggi, cerita Asti ini horor betulan. Kata sifat yang dimaksud Anggi adalah psikopat, penyendiri, dan penyayang keluarga. Meskipun begitu, Dani dan Niken beranggapan, meskipun kesan sadisnya akurat, karakter ini kurang psikopat.

Terakhir, saya menulis tentang rutinitas pasangan suami-istri di pagi hari. Ketika hendak bangkit dari ranjang si istri perlu bantuan suaminya. Mereka Salat Subuh berjamaah; si istri menjerang air sementara sang suami bertadarus. Mereka makan roti, si istri membuat kopi dan jus apel. Si suami membentak si istri, alasannya rasa roti dan kopinya tidak seperti selayaknya. Dan lagi buah apel kesukaannya seharusnya tidak dijus. Si istri hanya diam, dan diam-diam yakin kalau nanti lapar toh suaminya akan makan juga. Sebetulnya kata sifat yang saya gunakan adalah tua, ompong, dan pasrah. Namun Dani bergurau, “Tiga kata: Dewi Kwan Im.” Niken menambahkan, post power syndrome. Ketika menulis cerita ini, ingatan saya masih segar dengan pementasan tentang pasangan suami-istri lanjut usia yang disaksikan tempo hari. Hasilnya mungkin mantap, tetapi, ah, kurang orisinil.




Andika Budiman. Fasilitator Reading Lights Writer's Circle dan penulis lepas untuk Rumah Buku/Kineruku Webzine.