Kamis, 19 November 2009

Movie Week: Tokyo Sonata (2008)


Setelah dua bulan tidak pernah lagi menonton film bersama, akhirnya pada Sabtu pekan lalu (14/11) writer’s circle melakukannya kembali. Kali ini film yang ditonton adalah Tokyo Sonata, sebuah film Jepang produksi tahun 2008. Hadir di toko buku Reading Lights sore itu: saya, Indra, Dea, Lia, Theo, Dani, the newcomer Nindi, Marti, Niken, Ina, Mahel, Maknyes, dan Nia yang datang ketika film sudah hampir berakhir.

Sebetulnya memilih film untuk disimak bersama sebulan sekali di writer’s circle itu susah-susah gampang. Dengan film-film internasional (Halah!) sebagai tema besar kegiatan ini, tidak mudah untuk menyenangkan hati semua peserta writer’s circle dengan selera menontonnya masing-masing. Sementara Marti suka costume drama movies yang romantis, Dani terobsesi dengan film peperangan a la miniseri Band of Brothers, dan Dea kurang suka menonton film berdarah-darah yang memunculkan perasaan tak enak. Lalu - katakanlah - Mahel menyukai film-film drama atau thriller psikologis, yang di atas kertas cocok dengan latar belakang Niken dan Nia yang kuliah di Fakultas Psikologi. Namun, siapa sangka Nia ternyata lebih suka film yang banyak action dan sedikit ngomong? Belum lagi Indra hanya rela menonton film klasik yang kental sisi literaturnya, berbalik seratus delapan puluh derajat dengan selera Maknyes yang agak nge-pop. Kemudian Theo yang diam-diam suka menempatkan diri sebagai karakter film tentu mengharapkan pemeran utama perempuan yang kuat sesuai dengan dirinya, lain dengan Lia yang … duh, jadi adu domba begini.


Intinya Tokyo Sonata menceritakan jatuh bangun seorang pria Jepang dalam menjaga kehormatannya. Di Tokyo pada masa Perang Irak (belum pulih benar dari krisis dan mesti berhadapan dengan kekuatan-kekuataan ekonomi baru), alkisah Ryuhei (Teruyuki Kagawa) kehilangan di-PHK dari perusahaan tempatnya bekerja. Demi mempertahankan kewibawaannya di mata istri dan anak-anaknya, laki-laki berusia empat puluhan tahun itu berpura-pura masih bekerja. Setiap pagi Ryuhei itu berangkat dari rumah bersetelan jas lengkap dengan dasi. Sementara ketika matahari mulai meninggi, ia berkeliaran di taman dan mengantri pembagian makan siang gratis.

Rumah tangga Ryuhei kemudian bergejolak saat istrinya, Megumi, mulai mengendus status pengangguran suaminya. Megumi pun menghadapi dilema: apakah ia akan melakukan konfrontasi terhadap Ryuhei, atau tetap berpura-pura tidak tahu sampai keadaan membaik, tetapi sampai kapan? Apalagi watak Ryuhei yang keras terhadap keluarga semakin menguji batas kesabaran Megumi.

Ketika menyimak film ini, kebanyakan peserta writer’s circle seperti main tebak-tebakan dengan film ini. Kami berkomentar, berasumsi, sambil bertanya-tanya, “Bagaimana kelanjutan ceritanya?” Kadang-kadang kami bisa menebaknya, kadang-kadang tebakan kami sangat meleset. Tokyo Sonata adalah film yang lucu tetapi tidak konvensional. Penonton bisa tertawa karena melihat antrian yang tetap tertib meskipun yang barisan orang yang mengantri sangat panjang. Orang-orang Jepang memang disiplin dan tahu malu. Ketika seorang guru ketahuan membaca hentai di kereta, padahal tengah menegur muridnya yang kedapatan memegang manga di tengah pelajaran, maka kehormatan guru tersebut hilang di mata murid-muridnya. Bukan karena hentai-nya, tetapi karena kemunafikannya. Adegan-adegan ‘aneh’ tentang bagaimana cara orang Jepang dalam menjaga kehormatan ini mengemuka sepanjang film, sampai-sampai Lia mendesah frustrasi, “OMG! Ini film tentang apa sih? Aneh banget!”

Seusai film sempat ada diskusi singkat tentang seperti apa Tokyo Sonata. “Apakah film ini kelewat menyedihkan?” tanya saya. “Enggak,” kata peserta writer’s circle yang lain. Beberapa peserta yang lain menganggap film ini, “Anti-klimaks,” tukas Theo. “Gue mengharapkan ending yang lebih dramatis,” timpal Mahel. Menanggapi hal tersebut, Niken mengatakan bahwa ada dua kemungkinan yang dapat terjadi pada manusia ketika mereka mengalami kejadian yang menggoyahkan kehidupan mereka: 1. Mereka (kita) mungkin akan mati; 2. Mereka akan terus melanjutkan hidup dengan sikap seakan kejadian tersebut tidak pernah terjadi. Hal ini disetujui Nindi yang menganggap film ini memberinya inspirasi karena membuktikan bahwa orang bisa terus bangkit setelah mengalami kemungkinan terburuk di dalam hidupnya.

Ketika masing-masing peserta diminta memberikan rating, rentangnya cukup jauh dari dua setengah sampai empat bintang. Maknyes hanya memberikan dua setengah bintang karena ada satu adegan yang sangat gelap sehingga gadis berkacamata itu tidak bisa melihat apa-apa. “Itu adegan apaan sih? Hubungan seksual penuh gairah?” komentarnya bingung. Dan ketika mayoritas orang memberikan rating antara dua setengah bintang dan tiga, ternyata ada satu orang yang memberikan rating empat bintang: Dani! Peserta writer’s circle yang biasanya paling grumpy. Seketika itu saya tersadar bahwa dalam memilih film mungkin saya tidak bisa menyenangkan hati semua orang. Namun, asalkan ada satu orang saja yang menikmati film pilihan saya, perasaan saya sudah cukup senang.

Tokyo Sonata disutradarai Kiyoshi Kurosawa (tidak ada hubungan dengan Akira) yang identik dengan film-film horor. Film ini memenangkan Prix Un Certain Regard pada Festival Film Cannes 2008. Prix Un Certain Regard adalah penghargaan untuk bakat-bakat baru yang menyuguhkan orisinalitas.

Sampai jumpa pada pemutaran film lainnya! Saran dan masukan sangat diharapkan.




Andika Budiman adalah peserta setia di Reading Lights Writer’s Circle. Mahasiswa HI Unpar ini suka sekali dengan kegiatan menulis, terlepas dari bentuknya, apakah cerpen, esei ataupun artikel. Dengan selera musik dan karya yang cukup non-mainstream, ia aktif memberi kritik serta saran-sarannya dalam diskusi setiap minggu. Saat ini ia sedang berusaha tetap hidup, dengan bernapas.




Rabu, 11 November 2009

Mendeskripsikan Suasana Yang Hadir Pada Satu Benda

Syahdan, sebuah toko buku kecil di sudut Siliwangi menjadi tempat pertemuan sebuah writer’s circle. Kami mengadakan workshop kecil dengan mendeskripsikan suasana yang hadir dari satu benda. Kami tidak beramai-ramai hari itu. Sebagian dari kami berhalangan hadir untuk sesuatu yang lain. Saya sendiri datang kepagian karena tak dinyana lalu lintas terlalu lancar pada hari itu. Setelah menyapa Andika, saya ingat bahwa saya belum men-defrag otak. Saya pun mendengarkan musik relaksasi Dolphin Dreaming dan melamun.

Andika, fasilitator kami, meminta saya untuk menulis jurnal kali ini. Saya menyanggupinya. Kemudian saya melihat Reggie yang ternyata sudah datang lebih dulu namun ia berada di lantai dua. Setelah membacakan instruksi yang disadur secara bebas dari buku “Daripada Bete, Nulis Aja!”, maka saya, Reggie dan Andika sibuk mencari benda untuk kami deskripsikan.

Sementara Reggie dan Andika berjalan menyusuri toko buku, saya memutuskan untuk duduk di tempat saya. Namun kami semua sama: mencari benda untuk diperhatikan. Tak lama Azisa muncul, diikuti Danny dan Hakmer. Kami berlima memutuskan untuk memulai sesi penulisan setelah semua orang telah diberikan kesempatan memperhatikan objek apa yang ingin mereka tulis.

Pembacaan cerita dibuka dengan Reggie yang seperti biasa membuat kami terpana dengan kemampuan mendongengnya. Dia menceritakan sebuah parable singkat tentang rasa cinta sebuah garpu terhadap sebuah pisau. Pisau itu tidak sebaru dan sebersih pisau lain. Justru pisau yang sudah memiliki beberapa bercak hitam itu sangat menarik di mata sang garpu yang sedih, ketika keduanya dipisahkan dari Piring alias Lingkaran Putih yang mengikat kami berdua. Saya menyukai gaya penceritaan Reggie yang mengandalkan simplicity namun manis.

Sesi pembacaan dilanjutkan dengan Azisa yang membuat cerita semi fiksi tentang seseorang yang menghitung jumlah burung di panel hiasan di belakang sofa yang saya duduki. Cerita itu membuat kami semua tersenyum. Khas Azisa. Tulisan kontemplatif dimana suasana hati dari sang penghitung ikut berpengaruh kepada akurasi dari hasil penghitungan itu sendiri. Unik dan manis.

Saya dengan mendapatkan giliran ketiga yang belakangan baru saya ketahui bahwa 3 adalah nomor yang saya dapatkan via numerologi. Saya mendeskripsikan suasana yang saya dapatkan apabila melihat bentangan pohon-pohon rimbun di balik jendela di belakang sofa. Saya membuat perbandingan antara betapa memusingkannya pemandangan tersebut apabila saya tidak mempergunakan kacamata dan sebaliknya. Suasana tersebut saya narasikan dengan perasaan seseorang yang sedang jatuh hati. Bahwa perasaan seseorang ketika jatuh hati seolah dia mempergunakan sebuah kacamata yang dipreskripsikan khusus untuknya. Semua hal menjadi jelas.

Azisa mengkritik tulisan saya dengan mengatakan bahwa terkadang apabila mempergunakan kacamata justru keburukan dari sesuatu akan menjadi jelas. Sebaliknya, Andika mengatakan bahwa dia cukup menyukai analogi tersebut. Terlepas dari beragam feedback yang saya dapatkan hari ini, saya senang karena reaksi yang cukup banyak setelah saya menghadiri pertemuan yang kesekian kali.

Berikutnya giliran Andika yang (lagi-lagi) mendapatkan urutan keempat seperti dua minggu lalu ketika teman saya Marty kedapatan bagian menulis jurnal. Andika cukup mengocok tawa kami semua ketika dia menceritakan sebuah kisah “nyata” yang menjadi “fiksi” tentang pengalamannya bertemu saya yang kebetulan datang cukup awal. Cerita dimulai dari percakapan singkat antara saya dan Andika yang diselingi jeda panjang karena saya asyik mendengarkan musik relaksasi hingga rasa frustasinya karena saya diamkan. Aneh. Padahal menurut saya justru dalam diam kadang kita tercerahkan. Apa ini semua murni karena saya kesal karena dia mendeskripsikan betapa besarnya perut saya di dalam ceritanya? Ah, well.

Danny berikutnya. Seperti biasa dia menghadirkan sebuah cerita fiksi yang menurut Reggie merupakan based on beberapa fiksi yang sudah ada. Cakrawala yang saya miliki tidak memungkinkan saya untuk mengetahui secara detail siapa saja tokoh-tokoh tersebut namun saya selalu bisa menemukan sesuatu yang beda dari tulisan Danny. Kali ini, writer’s circle dihibur dengan sebuah percakapan lucu dari sebuah pemimpin kapal besar yang galak dan bawahannya yang baik hati namun pandir. Makian-makian khas seperti ‘monyet tengik!’ membuat saya merasa sedang membaca buku-buku lawas seperti The Legend of Condor Heroes dengan suasana di sebuah kapal. Oh iya, mendekati akhir cerita kami baru sadar bahwa benda yang menjadi fokus Danny adalah peti meja kayu yang ada di tengah-tengah lingkaran. Butuh imajinasi hebat untuk membuat cerita seperti itu.

Hakmer menceritakan suasana yang dapat ia deskripsikan dari sebuah lukisan perempuan yang sedang menyibak rambut tebalnya. Berdasarkan lukisan tersebut, Hakmer menulis perasaan kontemplatif seseorang tentang seseorang yang ia kagumi dan cintai. Pada akhir tulisannya, Hakmer menarik kesimpulan bahwa ia harus memilih apakah dia harus mencoba mencari sesuatu yang baru atau menjadi seseorang yang mempunyai hati. Konsepsi tersebut hadir berdasarkan pengandaian bahwa cinta itu berada dalam sebuah pertaruhan.

Andika mengetukkan pena sebagai tanda bahwa waktu membatasi pertemuan kami pada hari itu. Namun pembatas waktu itu diangkat ketika sesosok perempuan datang dan memberikan vibrasi yang lain ke dalam toko buku ini. Adalah Marty, penulis terakhir yang datang hari itu karena harus menghadiri sebuah pertemuan. Kami memaafkannya keterlambatannya karena dia membawakan makanan kecil yang cukup untuk mengganjal perut. Marty menceritakan kisah tentang seseorang yang melamun di sebuah makam istrinya. Deskripsi Marty begitu bagus untuk hal-hal yang sangat Harlequin dan Hallmark. Flashback yang ia hadirkan begitu puitis tanpa bahasa yang terkesan dilebih-lebihkan.

Writer’s circle ditutup untuk kedua kalinya dengan ketukan pena Andika. Pembatas waktu kembali dipasang sebelum halaman-halaman kami buka lagi pada pertemuan selanjutnya. Bersamaan dengan matahari mulai bersiap-siap pulang, writer’s circle bersiap-siap pula untuk lanjutan episode kami masing-masing.



Amahl S. Azwar adalah seorang pemuda lulusan Universitas Parahyangan yang kini sedang magang di Departemen Luar Negeri. Menghabiskan hari kerjanya di Jakarta tidak membuat pria yang biasa disapa Mahel ini untuk pergi ke Bandung dan menghabiskan malam minggunya bersama Reading Lights Writer's Circle. Untuk melihat tulisan Mahel lainnya, silahkan mengunjungi blog pribadinya: http://www.mcmahel.blogspot.com/

Rabu, 04 November 2009

Alasan Bangun Pagi Hari Minggu


Launching buku Salamatahari #2
"Hidupmu adalah limpahan hadiah yang tiba tidak tiba-tiba". Salamatahari #2 merangkum sebagian dan akan tiba pada:
Minggu, 8 November 2009
Pukul 10 teng
Di Taman Lalu Lintas Jl. Belitung No. 1, Bandung
Menghadiahkan:
1. Musik dari Deu GaLih, Klab Klassik String Trio, Karnatra
2. Bazaaar Tomat
3. Onde Mande
4. Theoresia Rumthe
5. Para Penyelamatahari Sekalian
HTM: 35.000.00
(Salamatahari #2, eksklusif ttd Sundea, tiket Taman Lalu Lintas, dan cenderamatahari untuk 100 pemesan pertama)

Informasi dan Reservasi:
Nita (085721890338)
dipansenja@yahoo.com