Setelah dua bulan tidak pernah lagi menonton film bersama, akhirnya pada Sabtu pekan lalu (14/11) writer’s circle melakukannya kembali. Kali ini film yang ditonton adalah Tokyo Sonata, sebuah film Jepang produksi tahun 2008. Hadir di toko buku Reading Lights sore itu: saya, Indra, Dea, Lia, Theo, Dani, the newcomer Nindi, Marti, Niken, Ina, Mahel, Maknyes, dan Nia yang datang ketika film sudah hampir berakhir.
Sebetulnya memilih film untuk disimak bersama sebulan sekali di writer’s circle itu susah-susah gampang. Dengan film-film internasional (Halah!) sebagai tema besar kegiatan ini, tidak mudah untuk menyenangkan hati semua peserta writer’s circle dengan selera menontonnya masing-masing. Sementara Marti suka costume drama movies yang romantis, Dani terobsesi dengan film peperangan a la miniseri Band of Brothers, dan Dea kurang suka menonton film berdarah-darah yang memunculkan perasaan tak enak. Lalu - katakanlah - Mahel menyukai film-film drama atau thriller psikologis, yang di atas kertas cocok dengan latar belakang Niken dan Nia yang kuliah di Fakultas Psikologi. Namun, siapa sangka Nia ternyata lebih suka film yang banyak action dan sedikit ngomong? Belum lagi Indra hanya rela menonton film klasik yang kental sisi literaturnya, berbalik seratus delapan puluh derajat dengan selera Maknyes yang agak nge-pop. Kemudian Theo yang diam-diam suka menempatkan diri sebagai karakter film tentu mengharapkan pemeran utama perempuan yang kuat sesuai dengan dirinya, lain dengan Lia yang … duh, jadi adu domba begini.
Intinya Tokyo Sonata menceritakan jatuh bangun seorang pria Jepang dalam menjaga kehormatannya. Di Tokyo pada masa Perang Irak (belum pulih benar dari krisis dan mesti berhadapan dengan kekuatan-kekuataan ekonomi baru), alkisah Ryuhei (Teruyuki Kagawa) kehilangan di-PHK dari perusahaan tempatnya bekerja. Demi mempertahankan kewibawaannya di mata istri dan anak-anaknya, laki-laki berusia empat puluhan tahun itu berpura-pura masih bekerja. Setiap pagi Ryuhei itu berangkat dari rumah bersetelan jas lengkap dengan dasi. Sementara ketika matahari mulai meninggi, ia berkeliaran di taman dan mengantri pembagian makan siang gratis.
Rumah tangga Ryuhei kemudian bergejolak saat istrinya, Megumi, mulai mengendus status pengangguran suaminya. Megumi pun menghadapi dilema: apakah ia akan melakukan konfrontasi terhadap Ryuhei, atau tetap berpura-pura tidak tahu sampai keadaan membaik, tetapi sampai kapan? Apalagi watak Ryuhei yang keras terhadap keluarga semakin menguji batas kesabaran Megumi.
Ketika menyimak film ini, kebanyakan peserta writer’s circle seperti main tebak-tebakan dengan film ini. Kami berkomentar, berasumsi, sambil bertanya-tanya, “Bagaimana kelanjutan ceritanya?” Kadang-kadang kami bisa menebaknya, kadang-kadang tebakan kami sangat meleset. Tokyo Sonata adalah film yang lucu tetapi tidak konvensional. Penonton bisa tertawa karena melihat antrian yang tetap tertib meskipun yang barisan orang yang mengantri sangat panjang. Orang-orang Jepang memang disiplin dan tahu malu. Ketika seorang guru ketahuan membaca hentai di kereta, padahal tengah menegur muridnya yang kedapatan memegang manga di tengah pelajaran, maka kehormatan guru tersebut hilang di mata murid-muridnya. Bukan karena hentai-nya, tetapi karena kemunafikannya. Adegan-adegan ‘aneh’ tentang bagaimana cara orang Jepang dalam menjaga kehormatan ini mengemuka sepanjang film, sampai-sampai Lia mendesah frustrasi, “OMG! Ini film tentang apa sih? Aneh banget!”
Seusai film sempat ada diskusi singkat tentang seperti apa Tokyo Sonata. “Apakah film ini kelewat menyedihkan?” tanya saya. “Enggak,” kata peserta writer’s circle yang lain. Beberapa peserta yang lain menganggap film ini, “Anti-klimaks,” tukas Theo. “Gue mengharapkan ending yang lebih dramatis,” timpal Mahel. Menanggapi hal tersebut, Niken mengatakan bahwa ada dua kemungkinan yang dapat terjadi pada manusia ketika mereka mengalami kejadian yang menggoyahkan kehidupan mereka: 1. Mereka (kita) mungkin akan mati; 2. Mereka akan terus melanjutkan hidup dengan sikap seakan kejadian tersebut tidak pernah terjadi. Hal ini disetujui Nindi yang menganggap film ini memberinya inspirasi karena membuktikan bahwa orang bisa terus bangkit setelah mengalami kemungkinan terburuk di dalam hidupnya.
Ketika masing-masing peserta diminta memberikan rating, rentangnya cukup jauh dari dua setengah sampai empat bintang. Maknyes hanya memberikan dua setengah bintang karena ada satu adegan yang sangat gelap sehingga gadis berkacamata itu tidak bisa melihat apa-apa. “Itu adegan apaan sih? Hubungan seksual penuh gairah?” komentarnya bingung. Dan ketika mayoritas orang memberikan rating antara dua setengah bintang dan tiga, ternyata ada satu orang yang memberikan rating empat bintang: Dani! Peserta writer’s circle yang biasanya paling grumpy. Seketika itu saya tersadar bahwa dalam memilih film mungkin saya tidak bisa menyenangkan hati semua orang. Namun, asalkan ada satu orang saja yang menikmati film pilihan saya, perasaan saya sudah cukup senang.
Tokyo Sonata disutradarai Kiyoshi Kurosawa (tidak ada hubungan dengan Akira) yang identik dengan film-film horor. Film ini memenangkan Prix Un Certain Regard pada Festival Film Cannes 2008. Prix Un Certain Regard adalah penghargaan untuk bakat-bakat baru yang menyuguhkan orisinalitas.
Sampai jumpa pada pemutaran film lainnya! Saran dan masukan sangat diharapkan.
Andika Budiman adalah peserta setia di Reading Lights Writer’s Circle. Mahasiswa HI Unpar ini suka sekali dengan kegiatan menulis, terlepas dari bentuknya, apakah cerpen, esei ataupun artikel. Dengan selera musik dan karya yang cukup non-mainstream, ia aktif memberi kritik serta saran-sarannya dalam diskusi setiap minggu. Saat ini ia sedang berusaha tetap hidup, dengan bernapas.