Selasa, 13 November 2012

Cinta karena Biasa


Entah bagaimana menjelaskan hubungan saya dengan writer’s circle dalam satu kata:

Rumit?

KDRT?

Hampir enam tahun hubungan terjalin, kata ‘cinta’ tak pernah disebut. ‘Sayang’ menghilang. ‘Senang’ datang dan pergi.

‘Bosan’ berkali-kali ditelan, seperti pada hari itu.

***

Saat jam menunjukkan pukul tiga, Andika masih asyik di depan komputer, memeriksa keadaan Box Office Amerika akhir pekan itu. Ia ingin menonton Daniel Day-Lewis memerankan Presiden Lincoln. Ia ingin mengunduh trailer filmnya, tetapi sejam lagi writer’s circle. Andika menghela napas keras. Dari jendela ia melihat gumpalan awan gelap menggantung di kejauhan – turunnya hujan bukan lagi pertanyaan. Kalau mau nggak datang sebetulnya hari ini, batin Andika. Namun ia telanjur berjanji pada Farida akan datang hari itu. Sekali lagi Andika menghela napas, tetapi tak terlalu keras. Tanpa menunda lagi, ia segera mengambil … sapu.

***

Setiap hendak bepergian, ada prinsip yang selalu dipegang Andika: rumah ditinggal dalam keadaan rapi. Selimut mesti dilipat. Lantai paling tidak disapu. Jika ada piring dan peralatan dapur yang kotor maka harus dicuci. Ketika pulang, ia ingin kerapian dan kebersihan itu ‘memeluknya’.

Sebelum berangkat writer’s circle, ada banyak yang harus dilakukan Andika. Semalam ia baru menamatkan Great House, sebuah novel tentang orang-orang yang kakinya terantai masa lalu. Bangun kesiangan, ia lantas terlalu banyak bermalasan dengan laptop menyala di perut. Membaca berbagai penafsiran novel, kadang-kadang ia menyetujui pendapat beberapa kritikus. Kadang-kadang tidak. Andika membaca ulang, mencari poin-poin yang dilewatkannya, lama sekali. Lalu menentukan dan mengunduh bacaan selanjutnya. Setelah menamatkan novel dewasa, ia senang membaca novel anak-anak. Tahu-tahu hari sudah sore.

Setelah menyapu, masih ada piring, cangkir, dan wajan kotor masih menumpuk. Bekasnya sarapan, minum kopi, serta teh. (Ia ingat harus lebih banyak minum air putih.) Bekas Ibu menumis ikan, telur, dan tomat. Mencuci piring kelihatannya cepat, tetapi sering membuat terlena. Tahu-tahu waktu telah terulur panjang. Andika bergegas, Apa yang mesti dimasukkan? STNK, cek! Buku menulis, cek! Tempat pensil, cek! Laptop, cek! Oke, Semua siap? Siap? Di luar Andika memutuskan memakai sandal karena yakin akan hujan. Kaus kaki dan sepatu pun dimasukkan dalam tas yang kemudian dibungkus lapisan tahan air. Saat mengunci pintu, Andika meraba sakunya, lalu kembali ke rumah untuk mengambil dompet. Ketika keluar, ia teringat bahwa Nia mungkin datang, lalu mengambil kartu pos dari Marty dan Neni untuk dipamerkan. Kali ini Andika ingat menyalakan lampu teras, kalau-kalau belum ada yang pulang saat hari gelap. Setelah pintu terkunci, ia pun memicu motornya.

***

Antrian sirkus, bioskop, maupun wahana di Dufan mungkin menyenangkan. Di ujungnya ada sesuatu yang diinginkan dan menunggu membuat sesuatu itu semakin istimewa. Cukup membuat Andika tertegun menyadari hanya ada writer’s circle di ujung antrian panjang kendaraan di Perempatan Pahlawan. Hanya writer’s circle terdengar berlebihan. Sebetulnya tak ada yang salah dengan writer’s circle, selain ia merasa terlalu sering melakukannya. Seperti makanan kesukaan yang dimakan terlalu sering dalam jangka waktu panjang. Ketika ia sudah hapal rasa makanan sebelum melahapnya, makanan itu kehilangan keistimewaannya. Beberapa pertemuan lalu Andika bersukarela menulis jurnal writer’s circle, tetapi sejumlah percobaaan mandek di tengah-tengah lantaran ia merasa apa yang dilaluinya biasa.

Ia tak kepingin menulis hal serupa terus-menerus.

***

Ketika gerimis pertama mendarat, Andika telah terlepas dari kemacetan. Motor-motor berseliweran di samping kiri dan kanan. Mungkin tak seorangpun yang mau kehujanan. Langit gelap, tujuan masih jauh, Andika menepi dan memakai jas hujan. Gerimis sempat berhenti, tetapi di Jalan Surapati hujan turun deras dan semakin deras. Angin bertiup kencang, secara kasat mata membelokkan jatuhnya air. Jarak pandang semakin menurun. Motor-motor menepi. Mobil-mobil menyalakan lampu darurat. Jalan raya mulai dilalui juga arus air, sampai ke tengah. Kalau mau nggak datang, sebetulnya hari ini, pikir Andika. Namun ia tetap melaju. Cepat sekali ia berubah pikiran. Hujan angin membuat toko buku Reading Lights terasa begitu … jauh. Begitupun ingatan akan interaksi dengan Dani, Ririe, serta para peserta reguler writer’s circle lainnya. Bersamaan dengan merembesnya air ke dalam jas hujan, muncul juga kata ‘kangen’. Pelupuk mata Andika mulai terasa hangat. Ketika sulit mencapai writer’s circle, tiba-tiba satu-satunya keinginannya adalah berada di dalam lingkaran itu.

Mencapai jalan layang Pasupati, Andika urung naik karena khawatir di atas angin makin keras. Ia lurus dan berbelok ke Jalan Ir. H. Juanda, lalu menyadari itu keputusan yang salah.

Jalan raya sudah berubah menjadi sungai deras.

Mobil dan motor mengantri. Namun antrian tidak bergerak maju untuk waktu cukup lama. Andika ingin mematikan mesin motor, tetapi takut tidak bisa menyala lagi. Asap-asap putih menguar dari kendaraan. Permukaan air semakin lama semakin tinggi dan arusnya makin deras. Di bahu jalan lebih tinggi dan deras. Andika gigit jari. Ia mulai berpikir yang tidak-tidak. Gelombang air besar. Pohon tumbang. Jika sedang ada laki-laki yang disukainya, Andika yakin akan menyerukan namanya keras-keras supaya mendapat kekuatan. Namun tidak ada. Andika mematikan motornya, meminta pengendara motor di sebelahnya mundur sedikit supaya ia bisa lewat. Dan bisa. Kini tinggal memarkir di pelataran Evieta Klappertart yang permukaannya tak tersentuh air, tetapi arus di lajur kiri yang deras membuat motornya sulit dikendalikan, seperti didorong tanpa henti. Andika maju sambil menekan pedal rem … dan berdoa. Untungnya motor naik ke permukaan aman dengan selamat. Andika mencoba menyalakan mesin … dan bisa.

***

Andika meneruskan perjalanan dengan berjalan kaki. Trotoar jalan tertutup gelombang air. Masih ingat cerita pejalan kaki yang hilang ditelan lubang trotoar? Andika masih.
Ia berjalan, sesekali melompat, di antara-taman-taman di samping trotoar yang berubah wujud seperti pulau-pulau kecil. Pelan-pelan hujan berhenti, tetapi di darat air masih deras. Antrian mobil berujung di SMA 1, sebuah mobil di urutan terdepan berhenti karena mesin mati. Di jembatan penyeberangan seorang perempuan memotret barisan mobil di bawahnya. Andika ikut naik. Di satu sisi mobil-mobil mengantri, di sisi lain air mengalir ke bawah. Tahun 2004-2006, Andika bersekolah di SMA 1, tetapi tak pernah mengalami banjir seperti ini. Tapi Bung ini tahun 2012. Ketika esok harinya googling, ia baru tahu belakangan banjir separah itu memang kerap terjadi.

Setelah memarkir motor, langkah dan perasaan Andika semakin ringan. Ia merasa kemungkinannya bertemu writer’s circle justru meninggi. Di depan ITB, hujan tinggal gerimis. Andika mulai berjalan sambil bersenandung. Ketika bertemu tukang gorengan, ia membeli dua tahu, dua cireng, dan satu tempe yang dimakannya duluan. Langkahnya terhenti lagi ketika bertemu tukang batagor.

***

Jelang pukul enam, Andika sampai di toko buku Reading Lights. Di ruang belakang, Farida menyentuh jaketnya, “Ini air?! Ini minum yang anget-anget dulu.” “Wah, wah,” Dani berkomentar, “Coba dilepas dulu. Kentang gorengnya habisin saja.” “Hahaha, itu kan punya Sapta,” timpal Ririe. “Ini minum, teh gua. Jumbo, lho.” Andika pun menuruti semua ucapan itu.

***

“Jadi tema menulisnya apa?” tanya saya.

“Cinta karena biasa,” jawab Ririe.

“Oh, ya?”

Sejenak saya diam sambil mengeluarkan barang-barang dari tas yang basah. Cinta karena biasa, pikir saya. Di buku menulis yang setengah halamannya basah dirembesi air, saya mulai menuliskan cerita hubungan saya dengan writer’s circle.

***

Andika Budiman

PS: Saya bersukarela menulis jurnal pada tema Depth of Field yang difasilitatori oleh Indra. Sayangnya jurnal itu tidak kesampaian dengan alasan writer’s block. (“Deuu!”) Setelah minggu itu sebetulnya writer’s circle tetap berlangsung meskipun tak tercatat dalam jurnal, temanya berturut-turut sebagai berikut: mendeteksi satu cerita jujur di antara dua cerita bohong, menulis berdasarkan sampul buku pilihan, menulis cara-cara kurang menyenangkan untuk mati, menulis cerita tentang berpisah untuk kembali, menulis kartu pos untuk peserta di sebelah kita, dan menulis cerita dari situasi tidak mungkin.