Sabtu, 31 Januari 2009

Radio Killed The Video Star

Hari Kamis (5/2) jam delapan pagi Writers' Circle bakalan siaran di Sky FM. Tujuannya tidak lain adalah untuk memperkenalkan kegiatan dan mempromosikan workshop penulisan skenario yang akan diadakan tanggal 11 Februari 2009. Workshop penulisan ini diselenggarakan di Reading Lights Bookshop and Coffee Corner dalam rangka ulang tahun keempat toko buku tersebut.

Selamat mendengarkan!

Kamis, 29 Januari 2009

'Aku' dan 'Dia' Dalam Tulisan

Sabtu, 13.34

Siang ini saya sedang merencanakan sesuatu untuk menghabiskan Sabtu sore nanti. Ah! Kenapa tidak datang saja ke pertemuan Writers' Circle Reading Lights saja, pikir saya. Selama ini baru saya hadiri dua kali? Saya pun bertekad untuk datang ke sana. Tapi heemmm... malas juga sebenarnya kalau tak ada teman yang belum saya kenal betul.

Maka saya cari nama Ina di dalam inbox telepon selular. Setelah ketemu, saya tekan tombol bergambar telepon berwarna hijau. Tak berapa lama...
"Halo," sapa suara di seberang sana.
"Na! Nanti dateng ga ke Reading Lights?" semburku langsung tanpa basa-basi. Basa-basi tampak terlalu basi buat kami.
"Iya. Nanti BANYAK yang dateng kok," jawabnya.
"Sip. Sampe ketemu jam 4 yaaa!!" kataku langsung menyelesaikan pembicaraan kami. Saya sedang malas berlama-lama menelepon.
"Oke," balasnya.

Ina

Sabtu, 16.45

Saat saya tiba di lantai dua di bagian belakang Reading Lights, sudah ada beberapa orang yang duduk manis menanti kedatangan teman-teman yang lain. Saya kira saya sudah sangat telat, tapi ternyata acara belum dimulai. Sangat berbeda dengan apa yang Ina bilang di telepon, yang datang sore itu tidaklah sebanyak yang saya pikirkan. Hanya tiga orang, Uli, Ina, dan Andika, ditambah saya jadi berempat. Tapi kedatangan saya yang terlambat ternyata mendapat sambutan hangat. "Tuuhhkaaannn!!! Apa gue bilang!! Perasaan gue mengatakan pasti akan ada orang yang datang lagi deh!!" seru Uli yang dengan mata berbinar.

Sesaat setelah saya mengambil posisi duduk di sebelah Uli, acara dimulai dengan Andika yang membacakan karyanya, sebuah ulasan dari novel Kafka on the Shore karya Haruki Murakami. Ulasan tersebut dibawakannya dalam bentuk cerpen. Setelah Andika selesai membacakan tulisannya, kami membahasnya sedikit. Jujur, aku merasa tidak konsen saat pembahasan itu. Mataku selalu melihat ke arah pintu, berharap yang masuk selanjutnya adalah mas-mas yang membawa pesananku. Perutku terasa perih dan tanganku gemetaran karena belum diisi oleh makanan yang layak dari pagi (dalam hal ini sebagai orang Indonesia, makanan itu adalah nasi). Tak banyak yang kami bahas mengenai cerpen-ulasan Andika. Kebanyakan membahas mengenai gaya menulisnya dan bukan isi novel tersebut. Mungkin karena belum ada yang membaca novel itu selain Andika.

Tak lama kemudian, makanan dan minuman pesanan kami mulai berdatangan. Sedikit demi sedikit saya mulai merasa segar, seperti batere yang sudah di recharge.

"Kita mulai saja deh. Hari ini kita akan membahas mengenai sudut pandang," kata Andika, sang fasilitator, saat saya sedang sibuk mengunyah. Beberapa lembar kertas, yang saya yakini adalah pedoman yang sudah dipersiapkannya, sudah dipegangnya. Dia pun mulai menjelaskan tentang bahasan kami waktu itu, yaitu sudut pandang dalam sebuah gaya penulisan. Menyadari bahwa pembahasan ini akan sangat penting dan besar kemungkinan akan sedikit yang melekat di otak saya, saya keluarkan catatan kecil, souvenir dari pernikahan seorang teman tahun 2007 lalu.

Berdasarkan penjelasannya, sudut pandang dalam menulis bisa dibagi menjadi sudut pandang orang pertama dan orang ketiga. Yang itu saya sudah tau. Sudut pandang orang ketiga pun ada yang memandang dari jarak dekat dan dari jarak jauh. Nah yang ini saya baru tahu.

Memandang dari jarak dekat dilakukan dengan menonjolkan karakter-karakter dalam cerita. Penulis bertugas untuk membawa pembacanya mengenali dan mendalami karakter pilihan penulis, yang semua karakter yang diangkat pastilah memiliki peran penting. Apabila karakternya semakin sulit ditebak alias misterius, maka akan semakin menarik. Andika memberikan contoh untuk kasus ini yaitu film Wild Things yang diperankan oleh Kevin Bacon dan Neve Campbell. Ya memang. Jika melihat karakter-karakter dalam film itu, semuanya sangat kuat dan saling mengalahkan.

Sementara sudut pandang orang ketiga dari jauh bisa digunakan apabila banyak karakter yang ingin ditampilkan oleh penulis, sehingga semua karakternya di sejajarkan, baik karakter utama atau bukan. Di sini, semua tokoh punya porsi yang sama. Andika mengambil contoh Pride and Prejudice karya Jane Austen, sementara Uli memberi contoh miniseri Band of Brothers yang langsung di-iya-kan oleh Andika. Dalam kepala saya, saya memikirkan tentang film Little Women, tapi saya tidak mengatakan apa-apa.

Uli

Saatnya sesi latihan menulis. Kami diminta oleh Andika untuk menulis satu cerita yang sama, tetapi dilihat dari tiga sudut pandang yang berbeda, yang sebelumnya telah diberikan penjelasannya. Berarti kami harus membuat tiga cerita sangat pendek yang harus diselesaikan masing-masing dalam waktu 5 menit saja. Tema tulisan yang diberikan relatif mudah, yaitu 'apa yang kami lakukan sesaat setelah bangun tidur tadi pagi'. Masih belum terbiasa bagi saya untuk menulis dalam waktu singkat, yang artinya tanpa terlalu banyak berpikir, just write it down! Hasilnya, alah bisa karena biasa!!

Kami berempat memiliki cerita yang berbeda tentunya. Ina bercerita tentang kejadian di kosannya dimana dia tak berkerudung dan tiba-tiba ada laki-laki yang memasuki kosannya. Uli menggambarkan tentang keadaannya sesaat setelah bangun tidur dimana dia mencoba mengingat apa yang dia lakukan sebelum tidur. Andika menuliskan bagaimana dia terbangun karena alarmnya. Sementara saya berkisah mengenai hal yang paling saya ingat saat terbangun pagi itu, yaitu memberi makan kura-kura peliharaan saya yang sudah seminggu bahkan tidak pernah saya tengok.

Di tengah-tengah sesi latihan menulis, hujan turun dengan deras, menghasilkan suara berisik yang menusuk-nusuk. Karena terlalu berisik, maka kami pindah ke ruangan yang sepi di lantai atas itu (ruangan apa itu saya tak tahu namanya). Di sana kami melanjutkan proses belajar kami dengan jauh lebih tenang.

Setahap-demi setahap kami memperluas sudut pandang dalam menulis cerita yang itu-itu juga. Dari situ saya sudah mulai bisa mendapati perbedaan rasa jika menulis dengan sudut pandang tertentu. Saat saya menempatkan diri sebagai orang pertama, rasanya seperti menulis diary saja. Saya tak bisa terlalu menjelajahi keadaan sekitar karena pastinya fokusnya pada perasaan dan pikiran 'saya' sebagai tokoh utama. Bisa dikatakan kekurangan dari penggunaan sudut pandang orang pertama adalah penulis tidak bisa menggambarkan kejadian lain di tempat yang tak terjamah oleh tokoh utama. Dari awal hingga akhir, cerita terjalin hanya dari pengamatan sang tokoh utama saja sebagai pengantar cerita. Pada gaya penulisan dengan sudut pandang orang pertama, semuanya bersifat subjektif.

Sedangkan saat saya berperan sebagai orang ketiga dalam tulisan saya, saya menempatkan diri sebagai orang lain dari luar lingkaran cerita sehingga bisa melihat dari berbagai sisi. Detil-detil yang berada di sekeliling tokoh utama yang tidak terperhatikan olehnya pun bisa lebih digali lagi sehingga bisa memperkaya cerita. Sayapun lebih bisa bermain-main dengan karakter lain dan bahkan bisa menyejajarkan posisi mereka dengan sang karakter utama.

Kesimpulannya, untuk menentukan akan menggunakan sudut pandang apa dalam tulisan kita, terlebih dulu kenalilah dengan baik karakter sang tokoh utama. Kalau tokoh utama tak terlalu menarik (atau bahkan biasa sama sekali), penggunaan sudut pandang orang pertama akan kurang bijaksana (Andika mengambil Twilight sebagai contoh gagal dan Middlesex sebagai contoh berhasil dalam penggunaan sudut pandang orang pertama sebagai gaya menulis). Sebaliknya, jika penulis memiliki banyak karakter untuk ditampilkan, akan efektif jika menggunakan sudut pandang orang ketiga.

Pertemuan yang menyenangkan. Saking menyenangkannya hujan tampaknya sengaja mengguyur habis-habisan sehingga menjebak saya untuk tetap eksis di sana hingga tempat itu tutup.

Maknyes 'Tia'

Tia, lebih akrab disapa Maknyes adalah seorang mahasiswi ITB yang juga bekerja sebagai penyiar Sky FM, selain juga aktif di rumah produksi 9 Matahari. Sejenak, kehadirannya mungkin menimbulkan perasaan sebal. Apalagi ia selalu menambahkan kata 'bo' setiap kali mengakhiri sebuah pernyataan. Menurut model senior Ratih Sanggarwati, 'bo' itu kependekan 'cabo' yang artinya wanita tuna susila. Hal tersebut ditebus dengan kejujuran Maknyes dan keceriaannya yang khas penyiar radio pagi. Sehingga kehadirannya di the circle akan selalu dinantikan. HIDUP MAKNYES!

Andika dan Maknyes

Selasa, 20 Januari 2009

Menonton The Bubble

Setelah beberapa kali sengaja tidak hadir di sore hari Sabtu, akhirnya keinginan itu tumbuh lagi setelah Andika menginformasikan bahwa agenda minggu ini adalah menonton film. Asyiiiik …! Ada dua pendatang baru di pertemuan writers' circle kali ini, Patrice dan Meita selain para pendatang lama saya, Andika, Nia, Uli, juga Faisal.

Film yang dipilih oleh Andika adalah The Bubble yang berlatar peperangan antara Israel dan Palestina. Film yang pas dengan momentum saat ini. Meski The Bubble hanya menggunakan setting perang tadi sebagai background, namun esensinya lebih kepada kisah cinta baik yang terjadi antara lawan jenis kelamin maupun sesama jenis kelamin.

The Bubble on the wall

Scene awal bercerita tentang pemeriksaan warga Palestina yang melintasi wilayah perang oleh tentara Israel. Di saat pengecekan, ada seorang wanita hamil yang ketubannya pecah di tengah kerumunan orang. Noam (Ohad Knoller), pemuda Israel yang bertugas sebagai medik, segera membantu wanita Palestina itu melahirkan dan menginstruksikan tentara lain untuk memanggil ambulance. Walaupun demikian, akhirnya si wanita hanya bisa meraung sedih sembari menahan kesakitan karena nyawa bayinya sudah tak bisa lagi diselamatkan. Kerumunan orang Palestina pun ribut menuduh Noam sebagai pembunuh bayi itu, sampai tentara lain menembakkan peluru peringatan, dan suasana seketika hening. Ashraf (Yousef 'Joe' Sweid), seorang pemuda Palestina yang juga ada di tengah kerumunan, lantas bersimpati kepada Noam.

Setelah masa wajib militer Noam selesai, ia dan Ashraf kembali bertemu di Tel Aviv, di apartemen yang ditempatinya bersama Lulu, gadis Israel yang cantik dan Yali, seorang laki-laki yang juga homoseksual juga. Noam dan Ashraf lantas jatuh cinta. Untuk sesaat mereka menikmati hubungan cinta dengan latar suasana Tel Aviv yang hip dan kosmopolitan, namun keadaan tidak pernah terlalu aman bagi Ashraf yang tinggal dan bekerja secara ilegal di Tel Aviv. Ia pun pergi ke Nablus. Dengan samaran sebagai reporter berita dari Perancis, Noam dan lulu lantas menyusul Ashraf. Di Nablus, argumen memanas antara Noam dan Ashraf, tetapi akhirnya mereka berciuman. Ketika Jihad, calon kakak ipar Ashraf yang merupakan anggota militan Hamas, melihat ciuman itu, dia mengancam akan memberi tahu keluarga besar Ashraf soal homoseksualitasnya jika ia menolak menikah dengan saudara perempuan Jihad. Ashraf lantas 'came out' kepada kakak perempuannya setelah resmi menikah dengan Jihad. Ia ikut bersedih saat sang kakak menangis karena kejujurannya akan hubungan sesama jenis itu. Sinopsis harus dihentikan di sini, karena sepertinya saya sudah memberikan cukup banyak spoiler.

Duduk di dalam kegelapan

Menurut Patrice, beberapa adegan bercinta antar sepasang perempuan dan laki-laki sebagaimana antara laki-laki dengan laki-laki terlihat tidak indah. Pada awal film, Andika memang sudah mengingatkan bahwa film ini mengandung banyak konten seksual yang cukup grafis. Patrice berpendapat, bahwa film ini begitu vulgar dan hedonis sehingga tidak sesuai dengan norma-norma Budaya Timur. Dia pun tak mendapatkan soul dari film ini, dan menginginkan agar adegan-adegan grafik tersebut diganti dengan dengan adegan simbolis.

Berbeda dengan Patrice, Nia mengemukakan bahwa ia mendapatkan soul antara dua orang yang sedang jatuh cinta terlepas apakah mereka sesama atau berlawanan jenis. Kemudian dia juga menyatakan keinginannya untuk memiliki soundtrack film ini. Keinginan ini diamini oleh Andika yang juga sangat menyukai lagu-lagu dari film The Bubble.

Meita, gadis berkerudung yang sedang menyusun skripsi ini mengaku kaget, tanpa memberikan penjelasan apapun mengapa film ini begitu mengagetkan.

Uli yang datang di tengah-tengah film berpendapat bahwa motif Ashraf menjadi pembom bunuh diri masih kurang kuat. Ia lalu menyatakan kagum dan heran dengan ide rave party for peace yang diadakan anak-anak muda Israel dan tentang gaun pengantin putih kakak Ashraf yang sempat-sempatnya dipersiapkan meskipun Palestina ada di dalam keadaan perang. Ma,im Uli menyesalkan sikap sang suami yang saat istrinya mati tertembak tidak memperlihatkan sedikit pun rasa kesedihan atau kekecewaan.

Faisal, yang datang bersama Uli atas ajakan saya, ikut memberikan pendapatnya. Jadi ia merasa bahwa focus of interest dari The Bubble ini tidak jelas. Apakah tentang perang Israel versus Palestina atau tentang kehidupan gay?

Andika tidak terlalu mempermasalahkan keseluruhan film The Bubble ini. Menurutnya adegan seksual antara kedua laki-laki ini tidak terlalu vulgar. Memang adegan tersebut memperlihatkan pantat dan punggung yang berkeringat, tetapi bukankah dua laki-laki tersebut kelihatan bahagia? Lagipula adegan ini diiringi lagu Song to the Siren-nya Tim Buckley. "Kurang elegan gimana?" begitu kira-kira pendapat Andika. "Lagipula pada akhirnya kita semua juga akan melakukan hubungan seksual," lanjutnya.

"Tapi kan hubungannya antara laki-laki dan perempuan," sahut Patrice.

"Emm, sebetulnya ...," gumam Andika. Ia lantas mengatakan para pelaku bom-bunuh-diri di Israel biasanya adalah gay-gay Palestina yang merasa frustrasi dengan tekanan masyarakat arab yang homophobic. Patrice lantas menanggapi dengan berkata, "Ah, orang pembom bunuh diri di Bali juga punya istri."

"Tapi banyak laki-laki yang menikah, akhirnya malah ketahuan kalau dia homoseksual," komentar Nia.

Lalu saya yang sedang memperbanyak menonton film berpendapat bahwa adegan ‘itu’ kurang nyaman saja. Karena saya merasa normal jadi kurang suka dengan adegan antar laki-laki itu. Namun pada prinsipnya, saya menilai film ini hanya ingin bercerita tentang kehidupan lain diluar konteks peperangan meski masih dalam kawasan yang sama. Bahwa ada hal lain yang dirasakan orang-orang selain membunuh dan terbunuh. Tentang hubungan kakak adik, antar teman juga pasangan.

Sebenarnya Eytan Fox, sutradara film ini semula menamakan The Bubble sebagai Romeo and Julio karena kesamaan jalan cerita dengan Romeo and Juliet. Namun, judul tersebut kemudian diganti karena terdengar seperti film porno. The Bubble sendiri merupakan sebutan bagi kehidupan kaum muda di Tel Aviv yang begitu kosmopolitan, tetapi di sisi lain mereka seperti ada dalam sebuah gelembung yang terpisah dari keadaan di luar, di mana Israel berperang dengan Palestina.

Ina Khuzaimah

Ina berpose di depan Seni Rupa ITB

Selasa, 13 Januari 2009

Bertiga, Membicarakan dan Menulis Resensi

Hari Sabtu kemarin, setelah beberapa lama hiatus dari kegiatan Reading Lights Writers' Circle, akhirnya saya datang lagi. Sebetulnya seharusnya saya memang harus lebih sering lagi ke Reading Lights Bookshop and Coffee Corner, mengingat inilah satu-satunya tempat yang bisa memaksa saya, si penulis penderita writer’s block menahun ini, untuk menulis lagi. Hehe.

Rak benang sekaligus sekat ruangan Reading Lights, hari ini ada satu benang yang absen ...

Dan ternyata, keputusan saya untuk datang hari itu tidak salah. Di dekat pintu masuk, saya bertemu dengan Andika dan Nia, yang langsung bilang, “Aaaah, untung kamu datang! Kita cuma berdua!”. Saya cuma cengengesan. Tiba-tiba teringat keluhan seorang anggota writers' circle tentang sepinya beberapa sesi pertemuan writers' circle (sempat cuma dua orang di minggu-minggu tertentu). Pertama kali mendengarnya, saya berpikir itu mungkin karena kesibukan masing-masing anggota. Rasa sedih sempat terlintas. Walaupun saya juga jarang datang, tapi saya tidak mau lingkaran ini bubar. Saya tidak tahu lagi lingkaran lain yang bisa menjadi ajang berbagi tulisan, saling mengembangkan diri, dan (sekali lagi) bisa memaksa saya untuk menulis lagi. Jadi intinya nggak rela, nggak rela. Sebelum ini, saya sempat terlibat curhat-curhat dengan Nia, dan sebenarnya waktu itu pernah bilang mau mencoba sering datang dan mencoba mengSMS anak-anak untuk datang (dan karena kesibukan, saya sering gagal datang dan lupa mengSMS. Maaf Nia, bener-bener ngerasa bersalah T_T).

Anyway, beberapa saat setelah saya datang, saya, Nia, dan Andika mulai duduk di meja lingkar dan memulai sesi hari ini. Pembahasan hari itu adalah tentang resensi. Andika membacakan beberapa aturan resensi yang ia ambil dari salah satu edisi majalah Writer’s Digest, di antaranya bahwa kita diharapkan untuk tidak memakai sudut pandang orang pertama dalam meresensi (kecuali kita orang terkenal), jangan memberikan spoiler tentang buku/film yang kita resensi, meresensi sesuatu yang kita sukai, jangan menjadi keji, dan beberapa teknik yang bisa dipakai untuk menambah bobot resensi, seperti memasukkan kutipan buku, dll.

Setelah membacakan tata cara meresensi tersebut, Andika juga membawa contoh-contoh resensi. Ia membawa dua contoh; keduanya mengulas buku yang sama, yaitu 9 Matahari karya Adenita, namun dengan gaya yang berbeda. Yang pertama dibacakan adalah resensi Anwar Holid. Anwar Holid tampak memiliki impresi yang mendalam terhadap buku 9 Matahari. Ia menyebut buku ini “mengingatkan kita pada masa kuliah…” dan “membuat saya terharu” dengan perjuangan si tokoh yang mati-matian berusaha mengumpulkan dana untuk kuliahnya. Resensi yang positif. Sementara contoh resensi kedua adalah resensi dari Dea, salah satu anggota RL writers' circle juga yang saya kenal sebagai penulis dengan gaya-gaya tidak konvensional. Benar saja, Dea membuka resensinya dengan percakapan buku-buku di toko buku tentang kedatangan teman baru, yakni buku 9 Matahari. Mengalirlah resensinya. Dea merasa membaca 9 Matahari agak melelahkan, merasa bahwa si tokoh utama terlalu self-centered dan tokoh lain kurang mendapat pengembangan/porsi yang sesuai. Dea tidak menyinggung perasaan terharu seperti yang diungkap Mas Anwar.

Selesai menyimak kedua resensi itu, kami mencoba mengulasnya. Kami sempat menyorot tentang perbedaan latar belakang kedua penulisnya, yang membuat impresi mereka terhadap sebuah buku menjadi berbeda. Jadi, kami menyimpulkan, bagaimanapun objektifnya, sebuah resensi memang pasti subjektif.

Farida, Andika, Nia, Cheesy Toast, Ice Chocolate, dan Cappucino Float

Selanjutnya adalah sesi latihan menulis. Saya pikir saya akan harus menulis sebuah resensi 'serius'. Tapi ternyata Andika mengumumkan bahwa jenis penulisan resensi kali ini adalah informal, seperti membicarakan sesuatu yang kita anggap menarik kepada sahabat. Saya menarik napas lega. 30 menit diberikan untuk menulis resensi tersebut, kecuali untuk Andika. Ternyata Andika sudah menulis duluan resensinya. Saya dan Nia mulai ribut. Dika, Dika :p

Tibalah saat pembacaan hasil penulisan. Andika menulis tentang buku Norwegian Wood karya Haruki Murakami, yang ternyata ia baca demi bisa mengobrol dengan seorang teman yang menyukai penulis buku itu. Pembukaan resensinya dibuka dengan curahan hatinya mengenai hubungannya dengan temannya ini *uhuk*, sampai akhirnya berlanjut ke pembahasan mendalam tentang buku ini—tentang kebingungan budaya di anak muda Jepang di era 60an.

Selanjutnya Nia membacakan resensinya, tentang Persepolis yang ia sebut dipinjamkan oleh Andika padanya. Nia meresensi komik ini, tentang kehidupan seorang gadis yang hidup di revolusi Iran tahun 70-80an. Tentang gadis yang harus berhadapan dengan perubahan, perang, dan sebagainya. Dalam resensinya, Nia beranggapan bahwa Persepolis masih relevan dengan situasi saat ini di mana Israel menyerang Gaza. Baginya, komik ini merupakan suara dari anak-anak yang tumbuh di daerah konflik.

Selesai Nia, giliran saya terakhir membacakan hasil tulisan. Saya menulis resensi Twilight, novel tentang percintaan seorang gadis remaja dengan vampir, yang sedang menjadi fenomena dimana-mana—apalagi sejak filmnya diputar di bioskop. Dari berbagai segi, saya mengritik karya ini, seperti lelahnya saya menunggu 300 halaman untuk mendapatkan konflik, tokoh utama wanita yang memuja-muji penampilan si vampir setiap 2 halaman sekali, dan sebagainya *sembunyi dari lemparan tomat anak-anak ABG pecinta Edward Cullen*.

Selesai itu, sesi menulis berakhir. Kami sempat berbincang-bincang sebentar, hingga akhirnya saya pulang untuk bermalam mingguan, sementara itu Andika dan Nia tampak hang out sebentar di Reading Lights Bookshop and Coffee Corner.

Farida Susanty

Farida Susanty
adalah mahasiswi Jurusan Psikologi Universitas Padjadjaran yang kecanduan siaran televisi berlangganan. Gadis serius ini akan melakukan banyak hal demi tidak ketinggalan hitungan mundur tangga lagu di MTV. Sekonyong-konyong tubuhnya akan terpaku di depan televisi apabila ada film-film seru di channel HBO. Genre film favorit Farida beragam di kisaran indie, teen-flick, drama, dll. Meskipun membenci klise dan pretentiousness, gadis yang besar di Tasikmalaya ini akan memasukkan nonton-bareng-Juno-dan-Twilight ke dalam agenda sosialnya.


Sosok misterius Farida saat sedang menulis

Minggu, 04 Januari 2009

Membicarakan Makanan di Sore yang Panas

Sore ini sangat panas sekali. Bagi saya tidak mengapa karena saya lebih suka panas ketimbang mendung karena panas tidak membuat malas berpergian. Singkatnya, panas menghantarkan saya ke RL.

Sudah terlihat kehadiran Fadil dan Aji yang sedang mengobrol dari jendela kaca RL. Saya masuk dan duduk diantara mereka sampai datanglah Andika yang hari itu tidak membawa motor, Dea dengan celana Kermit, Mbak Niken, dan Mbak Mirna.

Niken, Fadil, dan David Sedaris

Kami duduk di ruang atas sembari mengeluh betapa panasnya cuaca hari ini. Kami semua aneh karena di hari yang panas, Fadil malah memakai jaket jeans. Memang itu urusan Fadil, tapi saya jadi sadar kalau sekarang masalah cuaca dan suhu menjadi subjektif.

Setelah Andika dan Mbak Mirna membacakan karya, Mbak Mirna memutuskan tema menulis yang tidak dipersiapkan. Tema menulis kali ini adalah mengenai rasa pada makanan. Penggambaran rasa bisa dilakukan dengan analogi. Dengan instruksi singkat dan dadakan, maka jadilah karya-karya dibawah ini:

-Aji

Aji bercerita mengenai cokelat brownies yang hancur di mulut. Tokoh dalam cerita Aji yang suka makan brownies ini pun memiliki seekor kelinci bernama Brownies karena warna bulunya yang cokelat. Bedanya manusia dengan si kelinci yang bernama Brownies adalah manusia bisa menikmati makanan seenak brownies sementara kelinci yang bernama Brownies tidak bisa makan brownies.

Niken, Fadil, Aji, dan David Sedaris

-Fadil

Fadil bercerita tentang bebek goreng. Ia mendeskripsikan gurihnya mentega, bawang, sobekan daging yang liat, yang ia makan ketika pembagian rapot di usia SD. Ia menganalogikan enaknya bebek goreng dengan indahnya gerimis. Kemudian ketika si tokoh duduk di bangku SMA dan pergi makan bebek di tempat yang sama, yang ada hanyalah bebek yang hambar dan tidak enak. Ketidakenakannya ini dianalogikan dengan genangan air yang meciprat karena dilindas ban mobil.

-Mbak Niken

Mbak Niken bercerita tentang tokoh yang lambat makan akibat rahang kecil, capek mengunyah, dan atau keturunan. Ketika si tokoh makan bubur pun, ia masih harus melalui keterlambatan dalam mengunyah makanan. Ia menceritakan bahwa tokoh tidak suka dengan bubur yang teraduk-aduk karena terlihat seperti muntah dengan cairan di sampingnya. Dalam makan bubur, ia memakai teknik sendiri dan begitu sistematis. "Tolong jangan dikaitkan dari cara makan dengan kepribadian," ujarnya.

Masih Niken, Fadil, Aji, dan David Sedaris

-Mbak Mirna

Mbak Mirna bercerita tentang dua orang yang menyukai mi instan. Orang pertama menyukai mi dengan benar-benar adiksi layaknya narkoba, sementara yang kedua menyukai mi instan akibat kondisi keuangan. Adonan yang mengembang, bumbu-bumbu, dan beragam aksesoris tetapi saja tidak mengubah sejatinya mi instan.

Mirna: "Are you a retard?"

-Andika

Andika bercerita tentang lontong kari yang warnanya mencolok tapi rasanya hambar. Tokoh ceritanya lalu sakit perut sehingga harus buang air di tengah-tengah prosesi makanan. Hasil sekresi digambarkan sangat mirip dengan lotong kari yang baru saja dimakan. Intinya, cerita ini tidak usah dibayangkan, bahkan dibahas lebih lanjut. Hehe.

-Dea

Dea bercerita tentang air putih di rumah opung-nya memiliki rasa berbeda dari air putih yang biasanya, yaitu memiliki rasa bau lemari dan kain ulos. Dea menggambarkan bahwa air putih tidak selalu bening dan bebas interpretasi.

-Nia

Saya tulis kesuluruhan cerita saya saja ya:

Sore ini, saya pergi ke Circle K di daerah Jalan Riau. Pada saat itu cuaca sedang panas-panasnya sehingga membuat saya kehausan. Ketika saya masuk, pegawai Circle K memberi salam 'selamat sore' dan saya balas dengan senyuman. Saya bergegas menuju tempat minuman dingin dan mengambil Ovaltine.

Dinginnya minuman Rp.3500,- itu menyegarkan tenggorokan saya. Walaupun tidak semurni susu sapi di Lembang, rasanya nikmat sekali. Apalagi jika ditambah kentang goreng atau ketan bakar. Susu sapi mengingatkan liburan saya dengan keluarga di salah satu restoran di daerah dingin itu. Terkadang - jika sudah selesai makan - kami jalan-jalan melihat kuda dan sapi di halaman belakang. Rasanya aneh melihat binatang yang baru kami minum susunya itu berkeliaran.

Di Reading Lights, saya bertemu dengan teman saya. Ia melihat kotak Ovaltine kemudian berkata, "Tahu enggak kalau susu itu cocoknya sampai umur 10 tahun. Kalau mau sehat, minum susu kedelai."

Ketika ia mengucapkan 'susu kedelai', seluruh organ pencernaan saya menolak akibat ingatan rasa susu kedelai yang tidak enak. Mau dalam kondisi dingin, panas, memiliki rasa cokelat atau stroberi, saya tetap tidak suka dengan susu kedelai. Rasa susu kedelai yang saya beli di supermarket mengingatkan perjalanan saya ke Jakarta ketika tol Cipularang belum ada sehingga kami harus melewati puncak. Waktu itu saya sedang sakit namun saya dipaksa ikut ke Jakarta. Puncak yang saat itu macet, panas, berkelok, membuat saya yang duduk di belakang bersama barang-barang tidak kuasa menahan muntah. Bukan muntah besar yang mengeluarkan isi perut, tetapi muntah kecil yang tertahan di mulut keudian masuk lagi ke kerongkongan akibat reaksi refleks. Mual menjadi dua kali lipat dan kerongkongan terasa panas akibat tekstur kasar si muntahan. Itulah sensasi yang saya rasakan jika minum susu kedelai.

Saya jadi tidak peduli dengan batasan umur terbaik untuk meminum susu, saya tetap memilih susu sapi.

Intinya dari tema kali ini adalah rasa yang dideskripsikan penulis harus menggunggah selera si pendengar. Jadi bisa dipraktekan ketika kita makan, kita bisa menulis rasanya.

Pertemuan pun ditutup ... dengan masih membicarakan makanan tentunya. Seperti biasa, kami main scrabble sambil menunggu malam. Namun sayang saya harus menolak ajakan main scrabble karena saya lagi ingin pulang sore. Mungkin mereka sudah tidak membicarakan mengenai makanan.

Niaw Miaw

Nia dengan rambut barunya