Rabu, 24 September 2008

Musim Liburan

Pengumuman, kegiatan writers' circle di Reading Lights mesti libur dulu berhubung tokonya tutup hingga tanggal 14. Pada tanggal 18 Oktober kegiatan ini akan kembali berjalan seperti biasa.

Minal aidin wal fa idzin, mohon maaf lahir dan batin. Selamat liburan!

Selasa, 23 September 2008

Menuliskan Makanan

Hari ini Sabtu, 20 September 2008. Saya ingat betul terakhir kali datang ke Reading Lights mengikuti kegiatan writers' circle adalah pada 12 Juli 2008. Artinya sudah dua bulan lebih saya tidak bergabung dengan komunitas menulis kreatif paling keren di Bandung ini. Tidak sabar rasanya ingin cepat-cepat bertemu mereka lagi.

Ketika pertama kali melangkahkan kaki memasuki toko buku tersebut, tidak tampak bule imut-imut dan menggemaskan yang biasanya menjadi fasilitator, Erick. Tidak ada anak perempuan yang sekujur tubuhnya berwarna merah jambu, Myra. Juga tidak saya temui wanita yang selalu mengajak berbicara dengan barang-barang di sekelilingnya, Dea. Yang ada hanya beberapa orang dari komunitas kerajinan tangan dan pengunjung lainnya.

Setelah menunggu beberapa saat, akhirnya saya bertemu dengan Andika yang baru selesai salat dan ternyata sudah datang lebih awal. Beberapa menit kemudian, datang pula Nia. Cukup lama kami bertiga bercengkerama, masih belum ada tanda-tanda kemunculan anggota yang lain. Hingga terbersit sebuah ide untuk membatalkan acara rutin dan bermain scrabble saja. Di detik-detik terakhir sebelum memulai permainan scrabble, datanglah dua orang lelaki yang belum kami kenal dan berniat untuk bergabung. Dengan senang hati kami menerimanya, dan tidak jadi bermain scrabble. Kami pun segera menuju ruang baca.

Karena Erick berhalangan hadir, Andika mengambil alih tugasnya sebagai fasilitator. Ia sudah menyiapkan materi pelatihan yang diambil dari buku Write Where You Are: How to Use Writing to Make Sense of Your Life. Namun, sebelumnya Andika meminta dua orang yang terakhir datang untuk memperkenalkan diri. Mereka pun memperkenalkan diri sebagai Angga dan Wendi.


Princes of Monaco: Carolangga & Stephwendi

Lalu, Andika menyampaikan tema hari ini, yaitu makanan. Mendengar tema itu, jujur saja yang pertama kali terlintas di pikiran saya adalah membuat tulisan yang membahas tentang makanan seperti yang selalu dilakukan oleh Bondan Winarno. Tetapi, setelah Andika meminta Nia untuk membacakan salah satu cerpen karya Djenar Maesa Ayu yang berjudul Nachos, sedikit-sedikit saya mulai mengerti. Kami diminta menulis cerita di mana sebuah makanan dapat menimbulkan fantasi tentang seseorang atau sesuatu.

Setelah sempat datang dua orang lagi, yakni Farida dan Indra, kami pun diberi waktu 30 menit untuk menulis. Sementara waktu, suasana terasa hening. Masing-masing sibuk dengan tulisannya, sampai akhirnya bunyi alarm ponsel milik Andika memecah suasana. Karena ada beberapa yang belum menyelesaikan tulisannya, maka tenggat pun diperpanjang hingga dua kali lima menit.

Saya diberi kesempatan pertama kali membacakan tulisan. Saya bercerita tentang sate padang yang membawa saya ke dalam perenungan, mengapa saya makan Masakan Padang, bukannya masakan dari daerah lain. Meskipun, Masakan Padang bukanlah menu favorit saya.

Andika dan Farida berkomentar bahwa tulisan saya kurang emosional dan lebih mirip sebuah esei daripada fiksi. Entah, mungkin karena saya lebih banyak memasukkan data sejarah ke dalam tulisan saya, atau mungkin juga karena saya memang kurang suka gaya tulisan monolog seperti cerpen Nachos tadi. Ya … syabaslah.

Berikutnya, berturut-turut Nia, Wendi, Angga, Indra, dan Andika membacakan cerita yang sejenis. Mereka bercerita tentang seseorang atau sesuatu, kemudian mengibaratkannya dengan makanan tertentu. Nia menulis fiksi tentang seorang ibu yang seperti cheese cake, lebih enak diperlakukan dingin daripada hangat-hangat; dan seorang bapak yang seperti Teriyaki Mongolian Lamb, yang eksklusif dan melindungi dari rasa lapar.

The lovely and talented Ms. Nia & Indra pre-taxman period

Wendi menceritakan personifikasi dari sepasukan siomay hangat yang bertempur melawan rasa lapar. Angga mendefinisikan sate padang dengan bahasa percakapan yang ringan. Sempat muncul diskusi menarik yang dipicu oleh pertanyaan Indra, "Bagaimana sebaiknya menggunakan bahasa percakapan?" Menurut pengakuan lelaki berambut sangat keriting itu, ia tak pernah bisa menulis dengan bahasa percakapan. Indra mencontohkan dirinya yang berhenti menulis ketika sampai pada sebuah momen di mana karakternya kepingin kencing, tapi tidak tahu bagaimana menulisnya dengan bahasa percakapan yang elegan. Kebingungan Indra selesai, untuk sementara, setelah saya menjawab bahwa sudut pandang sangat berpengaruh kepada bahasa yang digunakan. Biasanya sudut pandang orang pertama akan cocok dengan bahasa percakapan, sedangkan bahasa baku lebih pas bilamana digunakan dalam sudut pandang orang ketiga.

Text-Book Editor turned Taxman: Indra yang semakin bawel saja

Berlanjut ke sesi pembacaan, t-bone steak tebal dijadikan Indra sebagai perlambangan kemapanan bagi seorang tax accountant. Namun, yang benar-benar menarik perhatian saya adalah cerita milik Andika. Ia membandingkan SF, atau lebih dikenal dengan F, sosok seorang istri editor dengan makanan. Andika mengibaratkan sosok F tersebut sebagai nasi goreng bumbu instan yang terbuat dari nasi putih lembek. F, yang pernah menjadi fasilitator salah satu komunitas menulis di Bandung, diumpamakan seperti itu karena memberi kritik sebuah tulisan dari hasil akhirnya saja, tanpa memperhatikan latar belakang dan proses kreatif penulisan. Ibaratnya nasi goreng yang hanya menarik tampak luarnya saja, tapi tidak enak ketika dimakan.

Tulisan Andika tersebut terasa sangat emosional, karena dibangun berdasarkan kisah nyata yang meninggalkan kesan sangat mendalam bagi yang pernah mengalaminya. Kini saya mengerti kritiknya tentang tulisan saya yang tadi dibilang kurang emosional.

Sesi pembacaan tulisan harus terputus oleh adzan maghrib dan lebih dulu memberikan kesempatan teman-teman muslim kami berbuka puasa. Sayang sekali setelah buka puasa, Farida harus bergegas pulang sehingga tidak sempat membacakan tulisannya. Padahal, sebuah kesempatan yang baik bagi kami menyimak karya dari seorang penerima KLA. Apa boleh buat.

Setelah cerpen Pisang Molen karya Erick dibacakan, setelah saya dan Indra menceritakan pengalaman hidup di Jakarta selama beberapa saat, akhirnya Andika menutup pertemuan hari ini. Saya rasa, diskusi hari ini berjalan lancar, dan banyak masukan-masukan berharga yang saya terima. Pertemuan berikutnya akan dilaksanakan pada tanggal 18 Oktober karena libur panjang hari raya Idul Fitri. Huuh ....

M. Fadil

Fadil adalah satu-satunya peserta the circle yang mampu untuk membuat makrame dan gaun pengantin. Ia juga pemain scrabble yang piawai. Buku favoritnya adalah Mystic River karangan Dennis Lehane. Frase favoritnya adalah berserobok pandang. Penyanyi favoritnya tentu saja Sherina Munaf. Karena Fadil semakin jarang berkunjung ke Reading Lights akibat kesibukannya di Jakarta, setiap kehadirannya selalu dinantikan oleh peserta the circle yang lainnya.

Fadil dengan rambutnya yang spektakuler

Selasa, 16 September 2008

Film Animasi Pendek

Tidak seperti minggu-minggu sebelumnya cuaca Bandung pada Sabtu sore kemarin cerah. Matahari bersinar hangat. Cahayanya memantul ke aspal dan dari aspal memantul ke mata. Meskipun begitu, perasaan gloomy menyelimuti jiwa saya. Ini gara-gara setelah bergegas pulang dari kampus untuk mem-print cerpen dan resensi, saya mendapati diri ini terkunci dari rumah sendiri.

Merasa ditolak, saya lantas pergi ke Vertex DVD demi memuaskan gairah berbelanja. Sialnya di sana tak satu pun DVD yang menarik untuk dibawa pulang apalagi dibeli. Namun karena tak enak, saya terpaksa beli Europa-nya Lars von Trier yang besar kemungkinan tak akan pernah ditonton. Semakin muak dengan diri sendiri, saya pun melanjutkan ke Pasar Kota Kembang. Di sana lumayan, saya beli dua film dan sebuah serial TV berjudul Once and Again, yang dibuat oleh Edward Zwick (sutradara The Last Samurai, Blood Diamond, dll.) dan Marshall Herskovitz.

Dari Kota Kembang saya meluncur ke toko buku Reading Lights dan bertemu dengan fasilitator the circle yang botak dan berprofil besar. Kali ini Erick mengenakan kaos berwarna biru luntur dan celana jeans lusuh yang ujungnya digulung. Sesekali ia mendesahkan FLV player yang bergeser apabila window-nya diperbesar. Sama seperti Anda barangkali, manusia berusia 28 tahun ini juga tidak tertarik dengan cerita saya berbelanja DVD bajakan. Jadi sebaiknya saya langsung saja ke kegiatan the circle minggu ini: menonton film-film pendek.

Impersonasi Perut Erick

Adapun tujuan dari kegiatan ini adalah memberikan alternatif tontonan yang baru dan menarik. Film-film pendek yang diputar didapatkan Erick dari temannya yang membeli majalah komputer terbitan Inggris. Nah, bonus dari majalah itu adalah CD yang berisi tidak kurang lima ratus film pendek. Mulai dari yang normal sampai yang nyeleneh, yang pastinya merangsang peserta the circle untuk berpikir ‘di luar kotak’.

Dan kami pun menunggu. Selama satu jam pertama peserta yang hadir adalah saya, lalu Erick, lalu ..., cuma ada saya dan Erick! Sepertinya kemarin banyak di antara kami yang buka puasa bersama teman kuliah/SMA/SMP, why can’t people move on? Bercanda. Sambil menunggu, sang fasilitator lantas memutuskan mulai memutar film-film pendek. Eh tahunya setelah tiga film pertama belum ada yang datang juga, dong! Kecuali paling keheningan yang awkward. Akhirnya Erick mengajak Niken dan Tanti bergabung. Dan semenjak itu, berturut-turut hadirlah Selvi dan Farida. Lalu suasana mulai hangat ... sebetulnya bukan yang hangat-hangat bagaimana, tetapi paling tidak Niken dan Tanti aktif berkomentar. Berikut beberapa film yang kami tonton:

1. Kiwi!
Sabtu kemarin Kiwi! merupakan andalan Erick dalam menyemarakkan suasana. Ini kisah kiwi, si burung yang tak bisa terbang karena sayapnya yang terlampau kecil. Film berdurasi 3 menit lebih 9 detik ini menceritakan usaha kiwi untuk bisa terbang. Sebuah usaha yang membuat kami semua tersentuh, siapapun dijamin akan tersentuh, bahkan Hitler, Megawati, maupun M. Ahmadinejad.

2. The Tale of How
Film pendek bernuansa fairy tale yang kata Erick sangat efektif sebagai penina bobo. Gambarnya sangat memikat. Semacam fantasi, tentang lautan dan pulau-pulau yang eksotis dan surealis. Niken bilang, ini mengingatkannya pada Tim Burton’s Nightmare Before Christmas.

Burung-burung berkaki panjang bernyanyi dalam The Tales of How

3. Ego
Kesukaannya Erick. Ceritanya tentang seorang pria ketika gosok gigi menemukan sosok di dalam cermin yang berbeda dari dirinya. Ia pun memecahkan cermin dan berusaha mengejar bayangannya itu. Mereka pun saling mengejar, saling bernyanyi, saling bermain ucing sumput di antara pepohononan. Nggak, lah. Pokoknya film ini sangat action, sangat-sangat mewakili aura Erick yang sophisticated.

"I AM sophisticated."

4. Carlitopolis
Film berbahasa Prancis tentang ilmuwan yang melakukan aneka percobaan terhadap tikus. Carlitopolis mengandalkan kemampuan bercerita stand-up, seperti stand-up comedian yang dipadukan dengan animasi dan properti betulan, yang ini kesukaan saya.

5. Musicotherapie
Berlatarkan rumah sakit jiwa para binatang, film ini menjadi favorit Niken dan Selvi. Musicotherapie bercerita tentang kegiatan hewan-hewan yang bunyinya membentuk irama musik electronic funk, kalau saya nggak salah. Niken merengek-rengek ingin meng-copy musiknya dalam bentuk MP3.

Dokter Monyet dalam usahanya mendiamkan lalat

Sebetulnya masih ada lima film lain yang Erick putarkan untuk kami. Namun lima film tersebut rasanya cukup untuk mewakili sore hari yang kami lalui bersama-sama. Barangkali sekian dulu. Percayalah kegaringan postingan kali ini tidak relevan dengan intelektualitas maupun intelegensi si penulis. Not even close.

Minggu, 07 September 2008

The Fasting Copywriters

Kali ini, dengan penuh keterlambatan, pertemuan the circle dimulai pukul 16.45. Pertemuan ini dihadiri oleh saya, Wahyu, Nato (pendatang baru), Myra, Dika, Indra, Stephanie (pendatang baru dari Singapura), dan Uli (yang datang terlambat kemudian pulang lebih cepat).

Myra, yang menjadi fasilitator kali ini, membawakan sebuah tema yang baru bagi sebagian dari kami: copywriter.

"Seneng deh diajakin maen golf sama tante gua! Seru!"

Sebelumnya akan saya jelaskan dulu apa itu copywriter. Copywriter adalah seorang konseptor di perusahaan advertising, yang mengonsep seperti apa ide sebuah iklan berdasarkan target mana yang akan diburunya. Seorang copywriter harus bisa melihat sisi lain untuk diangkat untuk menjadi iklan. Dalam hal ini bukan produk yang ia iklankan, melainkan yang lebih besar—kehidupan yang berada dibaliknya.

Misalnya Myra mengiklankan apartment Pakubuwono. Untuk bisa mengiklankan itu, dia harus menjadi seorang observer yang sangat teliti dan merasakan apa yang target market rasakan. Dalam hal ini, target market-nya adalah para socialite ibu kota. Berdasarkan pengetahuan itu, Myra harus tahu bahwa para socialite adalah tipe orang yang setia pada suatu brand tertentu demi eksklusivitas. Dalam kehidupan, mereka menginginkan hal-hal yang hanya bisa di dapat satu kali seumur hidup. Oleh karena itu, gadis pencinta warna pink ini tidak membuat iklan mengenai apartment-nya, tetapi gaya hidupnya. Sehingga iklan apartment-nya memuat potret karpet merah (yang menunjukkan kesan limited dan eksklusif) dengan tagline: Once upon a lifetime. Happily ever after.

Setelah menjelaskan copywriter, Myra menyuruh kami untuk melakukan copywriting. Soalnya begini:

a. Ada satu sekolah bernama Copetos. Syarat yang bisa sekolah disana adalah anak-anak yang sudah keluar dari SMA dan akan tinggal di asrama sekolah selama 5 bulan. Di sekolah itu, anak-anak akan diajarkan trik mencopet. Nah, tugas copywriter adalah membuat iklan di majalah untuk meyakinkan para orang tua agar menyekolahkan anaknya di Copetos.

b. Terdapat sebuah barber shop yang memotong pubic hair (tahu, kan?). Masalahnya, target market dari iklan ini adalah orang-orang Aceh. Tugas copywriter adalah membuat iklan di radio untuk meyakinkan orang-orang Aceh datang ke barber shop tersebut.

c. Ada satu perusahaan asuransi bangunan yang tidak punya kelebihan sama sekali. Walaupun begitu, perusahaan ini adalah pelopor satu-satunya di Indonesia. Tugas copywriter adalah membuat iklan di tv untuk mengiklankan asuransi bangunan ini.

Mendengar semua itu, kami hanya bisa tertawa. Alasan tertawa mungkin seperti ini: a) Soal-soal yang gila dan tidak masuk akal dan, b) INI SUSAH AMAT! Gimana caranya nih?

Myra memberikan waktu satu jam untuk menyelesaikan ini. Sepertinya ini adalah waktu terlama yang pernah diberikan fasilitator untuk membuat suatu karya. Menit-menit pertama, belum ada yang menulis sama sekali. Kami hanya diam, menerawang, mencoba mencontek ke majalah, buntu, dan akhirnya dipaksa keluar. Bisa dilihat dari ekspresi muka Wahyu yang sangat mewakili perasaan kami saat itu.


"I want love, but it's impossible! A man like me, so irresponsible!"

Setelah satu jam berlalu, bahkan diinterupsi dengan buka puasa bersama, kami pun melakukan eksekusi (istilah Myra). Rasanya memang terlalu kejam, tapi sebenarnya kami hanya membacakan karya masing-masing.

#1 Andika

a. Andika membuat empat buah gambar dimana masing-masing menunjukkan semakin banyak anak, wajah si ibu semakin muram. Di setiap gambar, Andika memberi penjelasan. Intinya, Andika membuat bahwa sekolah Copetos itu menjadi solusi dari kemiskinan yang mereka alami.

Saya bertanya pada Myra, "Apakah baik kalau bahasa di iklan majalah jika terlalu banyak?"

Myra menjawab, "Sebenarnya semakin simpel itu semakin baik. Kalau yang di Andika ini, namanya body copy, bukan tagline."

b. Andika menggambarkan Lutfiah Sungkar berceramah menggunakan ayat Al-Quran tentang pentingnya wanita - diiringi dengan jingle.

c. Andika menampilkan konsep tiga generasi yang saling membicarakan perusahaan asuransi yang mereka gunakan mulai dari generasi pertama seorang kakek, generasi kedua seorang ibu, dan generasi ketiga yaitu cucu.

#2 Indra

a. Alih-alih membuat iklan majalah, Indra malah membuat iklan televisi. Konsep iklan tersebut adalah permainan zoom pada dua model iklan yang jalan hidupnya berbeda. Yang satu menempuh sekolah formal untuk akhirnya menjadi korban ibu kota, yang lain menempuh sekolah pencuri sebelum jadi raja ibu kota. Tagline-nya adalah, ‘Karena Hidup Bisa Lebih Baik’.

b. Ini kocak banget! Indra yang paling kocak membuat iklan tentang salon untuk pubic hair. Semula Indra ingin membuat seperti konsep kampanye kesehatan yang serius, ia ingin menjelaskan yang tabu menjadi ilmiah. Tapi derai tawa terjadi ketika Indra berkata, "Tidak bersihnya kemaluan akibat fungus penisitis..." membuat orang-orang percaya dan bertanya, "Memangnya ada???"

Saya pribadi setuju dengan Indra. Jika hal terlalu tabu, bisa dibuat sangat serius atau sangat lucu sekalian.

c. Indra membuat konsep yang serius untuk membuat iklan mengenai asuransi bangunan. Dimulai dari melihat sejarah bagaimana proyek pembangunan yang dijalankan asuransi hingga sekarang. Saya dan Wahyu menggunakan konsep yang hampir mirip seperti ini, jadi selanjutnya tidak akan saya bahas.

#3 Stephanie

a. Iklan Stephanie ini lucu sekali. Ia membuat plesetan dari motivational book. 12 buku yang diplesetkan antara lain The Secret menjadi The Secret of Peek Pockers, lalu Who Moved My Cheese? jadi Who Moved My Pocket? Tagline iklan Stephanie adalah ‘Don't Be A Thief, Be A GREAT Thief’.

Saya bertanya, "Apa itu nggak merubah orang miskin sebagai target market, ya? Orang miskin kan nggak baca buku seperti itu."

"Malah kalau kata gue, target orang miskinnya hilang. Jadi target iklannya orang kaya," tambah Andika.

b. Stephanie menganalogikan Aceh sebagai Yunani dengan tagline, ‘Feel Like Royalty And Be Like Royalty’.

#4 Nia (saya)

a. Untuk memasarkan Copetos, saya menekankan pada kata-kata, "Satu-satunya sekolah yang memberikan uang seumur hidup Anda dalam waktu HANYA 5 bulan!"

Terdengar sangat iklan sekali. Sedikit masuk target market yaitu ibu-ibu yang mudah dipengaruhi dengan kata-kata 'hanya', 'cuma-cuma', atau 'gede-gedean'.

b. Saya hanya bilang, "Cut your pubic hair for Allah at Salon Akhwat, Lhoksemauwe!"

Namun ada sedikit kesalahan yang saya sadari ketika Myra bilang, "Nia, men have it! Men have pubic hair! Instruksinya tadi kan barber shop, tempat cukur laki-laki!"

Saya ngeles, "Oh, kalau gitu tinggal diganti jadi 'Salon Ikhwan'. Hehe."

Trio Detektif: Indra Andrews, Stephanie Jones, dan Nia Crenshaw

#5 Uli

a. Uli memiliki konsep ada seorang anak yang sedang jalan dengan seorang ibu yang membawa tas belanjaan. Salah satu tangan anak kecil itu memegang tangan si ibu, sementara tangan yang lain mengambil dompet orang lain.

#6 Wahyu

a. Wahyu mengusung konsep sederhana. Ia hanya menggunakan permainan warna dan font, dan dibuat secara jelas tanpa metafora.

b. Hampir mirip dengan Indra, tema pubic hair dibawa serius, seperti kampanye department kesehatan.

#7 Nato (Apa itu Nato? No Action Talk Only? Hehe)

a. Yang berbeda dari yang lain adalah Nato mengusung konsep lambang/ikon sehingga pesan dibuat implisit. Boleh juga, karena tidak ada peserta the circle lainnya yang membuat lambang.

b. Nato ingin membuat konsep dengan mengangkat permainan logat dari Bahasa Aceh dalam latar humor.

c. Hampir mirip dengan saya, Indra, dan Wahyu, yaitu melihat bangunan dari masa lalu-masa sekarang-masa depan, namun bukan itu yang ia prioritaskan. Yang menjadi sasarannya adalah konsistensi dari pengalaman perusahaan.

#8 Myra

Contohnya ini harus diperhatikan, saudara-saudara sebangsa dan setanah air, karena Myra bekerja di perusahaan advertising. Jangan-jangan, ini assignment kamu ya, Myra? Hehe.

a. Myra membuat tiga karakter yang memiliki dua sifat: baik dan buruk. Contohnya Superman yang meskipun pahlawan, tetapi ia memakai kolor di luar. Atau seorang poet bernama Oscar Wilde yang menghasilkan karya bagus, tetapi di sisi lain pernah dipenjara karena homoseksual.

Myra ingin menghadirkan konsep bahwa pencuri itu tidak selamanya buruk.

b. Myra mengaitkan mengenai masalah pubic hair dalam Islam dengan menggunakan hadis (dan ternyata ada), tapi saya lupa apa hadisnya. Intinya, iklan bisa dikuatkan dengan fakta agar orang percaya. Ia menamakan barber shop-nya Haram karena bisa berarti kotor atau suci (dari Masjidil Haram). Sama seperti pubic hair.

c. Myra memperlihatkan keajaiban dunia seperti Taj Mahal dan The Great Wall. Ia ingin memperlihatkan bahwa pasti ada alasan mengapa sebuah bangunan dapat berdiri lama (yaitu perusahaan asuransi itu).

Ok, bagaimana pembaca? Sudah cukup puas? Kalau saya hampir jera, meskipun menantang. Hehe. Saya rasa ini tidak bisa dibuat dalam hitungan jam, mungkin jika diberi waktu berhari-hari untuk observasi, hasilnya akan lebih baik. Bisa dicoba untuk menguji kreativitas Anda.

Adios!


Seluruh foto dalam posting ini diambil dengan kamera Nia, dan kebanyakan foto komunal the circle dalam blog ini juga hasil jepretan Nia.

Selasa, 02 September 2008

Sabtu Terakhir Sebelum Puasa

Pada Sabtu terakhir sebelum puasa ini, cuaca Bandung tidak karuan. Hujan besar melanda, menyebabkan macet di mana-mana. Terlebih lagi dengan gerombolan demi gerombolan warga Jakarta yang berbondong-bondong datang untuk liburan. Membuat kota tersayang ini semakin sesak saja.

Di Reading Lights tetapi, suasana nyaman seperti biasa. Tidak ada yang berubah. Tempat ini adalah sebuah gelembung yang tak terpecahkan oleh keriuhan di luaran. Atmosfer yang sempurna untuk diskusi grup kecil kami.

Grup kecil sedang pura-pura berdiskusi

Peserta-peserta yang datang pada hari ini adalah Ina, Neni, Erick, Andika, Ferdy, Indra, Farida, Anas, Wahyu, Uli, dan seorang pendatang baru yang tidak sekadar datang dari Jakarta, tetapi jauh dari negeri seberang: Singapura! Namanya Stephanie. Entah dari mana dia mendengar tentang aktivitas kami di sini, tetapi ada kehormatan tertentu yang kami rasakan karena kehadirannya. Bahasa Indonesia Stephanie masih kurang lancar, menulis pun dia masih menggunakan Bahasa Inggris, sehingga kami semua berusaha berperan menjadi tuan rumah yang baik dan menuntunnya sepanjang sesi. Walaupun begitu, dia terlihat seperti penulis yang bagus, dengan gaya yang banyak terpengaruh oleh penulis-penulis fiksi Barat.

Program kami pada hari ini adalah menulis sebuah cerita berdasarkan barang-barang tertentu yang telah dipilih sebelumnya. Barang-barang itu adalah cincin, jam tangan, handphone, asbak, dan semacam mainan origami.

For an added twist, penulis hanya boleh menggunakan salah satu inderanya sebagai alat deskripsi. Ini berfungsi untuk mengembangkan sekaligus mempertajam insting kami. Triknya adalah memilih barang yang berkesan bagi kami dan membiarkan cerita mengalir dengan sendirinya dari objek tersebut. Dengan begitu karakter sang penulis akan keluar dengan sendirinya, menyambut objek.

Oleh karena itu, kebanyakan cerita yang muncul adalah semacam narasi/deskripsi di mana objek-objek tadi muncul dalam cerita sebagai simbol atau penanda dari ide yang ingin dikemukakan oleh penulis.

Contohnya cerita Stephanie, di mana sebuah adegan yang melibatkan jam tangan menjadi latar dari sebuah hubungan antar kekasih. Atau cerita Anas, di mana asbak menjadi pemicu memori mengenai kekerasan rumah tangga yang pernah dialami tokohnya.

Namun, dari semua cerita berjenis ini, yang banyak mendapat tanggapan adalah cerita Ferdy. Dengan handphone sebagai objeknya, ia terjun ke dalam cerita mengenai seorang lelaki dan tunangannya. Cerita yang dibanjiri deskripsi apik ini, sebagian besar dibuat unik oleh suara tulisan Ferdy yang berkarakter. Deskripsi tersebut mampu menyedot perhatian kami, sekaligus membantu cerita tersebut deras mengalir.

Akan tetapi, Man of the Day (kalau ini memang istilah yang tepat) untuk pertemuan kali ini adalah Wahyu. Dia menunjukkan dengan pintar apa yang bisa dilakukan seorang penulis andaikan dia berani berpikir sedikit out of the box. Kudos buat Wahyu, karena telah memberikan inspirasi kepada sebagian besar dari kami.

Sosok epik Wahyu seakan baru keluar dari lukisan

Cerita Wahyu pada dasarnya adalah sebuah komedi mengenai seseorang lelaki yang, oleh karena kecelakaan, hampir kehilangan semua kemampuan panca inderanya kecuali satu: lidah.

Oleh karena itu, cerita Wahyu ini memaparkan tokoh tersebut tengah menjilati semua objek-objek yang ditentukan (asbak, jam tangan, handphone), dan mendeskripsikan rasa mereka satu persatu dengan gaya yang tidak hanya lucu, tetapi juga cerdas. Dan itu penting dalam komedi. Selesai cerita dibacakan, teman-teman peserta yang lain otomatis tertawa sembari bertepuk tangan memuji cerita yang begitu tepat sasaran.

Kurang lebih, begitulah rangkaian kejadian pada petemuan Reading Lights Writers’ Circle hari ini. Dua jam yang tidak terbuang percuma bagi kami, bakal-bakal penulis ini. Semoga pertemuan yang kondusif ini bisa terus berlanjut. Sementara waktu, kami mengenakan jaket dan baju hujan kami, menatap hujan di luar dengan wajah was-was. Dengan berat hati kami keluar dari gelembung ini: berangkat, dan menyebar. Menuju huru-hara yang menunggu kami di luaran sana.

Ali Singatuhan

Ali Singatuhan adalah sebuah pseudonim salah satu peserta Reading Lights Writers’ Circle. Ia misterius. Dari pseudonimnya terkesan bahwa orang ini menyukai spiritualisme islam. Paling tidak ia tahu bahwa Singa Tuhan adalah sebutan penyair Jalaluddin Rumi bagi Imam Ali, atau tidak? Atau peserta ini kebetulan suka puisi-puisi Rumi, atau kebetulan mempelajari Imam Ali, atau kebetulan saja membaca frase Ali Singa Tuhan di suatu tempat, atau tidak? Entah apa cerita di balik pseudonim ini.

Kaligrafi Ali Singa Tuhan dipinjam dari sini